A.
Pengertian Taflis
Al Imam Asy-Syaukani dalam kitab
Nailul Authar mendefinisikan taflis sebagai utang seseorang yang menghabiskan
seluruh hartanya hingga tidak ada yang tersisa sedikitpun baginya karena
digunakan untuk membayar utang-utangnya.[1]
Sedangkan Imam Al Ghazali dalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Asy-Syafi’i menjelaskan
bahwa taflis membahas tentang tuntutan seorang yang memberi utang kepada orang
yang berutang untuk membayar utang-utangnya yang sudah melebihi jumlah hartanya
sendiri karena sudah jatuh tempo pembayarannya.[2]
Sementara itu, Ibnu Rusyd di dalam
kitab Bidayatul Mujtahid menyebutkan dua makna taflis sebagai berikut:
1.
Utang
orang yang menghabiskan harta orang yang berutang, sehingga dalam hartanya
tidak ada sesuatu yang dapat digunakan untuk membayar utang-utangnya.
2.
Orang
yang tidak memiliki harta sama sekali.[3]
Sedangkan muflis, adalah orang yang jumlah utangnya lebih
besar daripada jumlah hartanya[4]
dan telah tiba saat pembayarannya.[5]
Dengan demikian, semua hartanya berada di bawah pengawasan orang-orang yang
memberikan utang kepadanya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim Abi Bakr Ibn Abd al-Rahman dari Abu Hurairah r.a berkata:
مَنْ
أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
مِنْ غَيْرِهِ
“Siapa yang mendapati
hartanya yang asli (belum berubah) pada orang
yang bangkrut maka ia lebih berhak atas barang itu daripada yang lainnya”
Dan
pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
عَنِ
الحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيّ ِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
مَنْ وَجَدَ مَتَاعَهُ عِنْدَ مُفْلِسٍ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ (رواه
أحمد)
“Dari Al-Hasan, dari Samurah, dari Nabi SAW,
beliau bersabda “Barangsiapa mendapati barangnya masih utuh (seperti semula)
pada seseorang yang bangkrut, maka ia lebih berhak terhadapnya (HR.Ahmad).[6]
Semakin dikuatkan
oleh hadits shahih berikut.
حَدَّثَنِي
يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
أَبِي بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَيُّمَا رَجُلٍ بَاعَ
مَتَاعًا فَأَفْلَسَ الذِي ابْتَاعَهُ مِنْهُ، وَلَمْ يَقْبِضْ الذِي بَاعَهُ مِنْ
ثَمَنِهِ شَيْئًا، فَوَجَدَهُ بِعَيْنِهِ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ، وَإِنْ مَاتَ
الَّذِي ابْتَاعَهُ، فَصَاحِبُ المتَاعِ فِيْهِ أُسْوَةُ الغُرَمَاءِ.
“Yahya meriwayatkan kepadaku, dari Malik, dari
Ibnu Syihab dari Abu Bakr bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Lelaki manapun yang menjual barang, kemudian orang
yang membeli darinya bangkrut, sedangkan orang yang menjual barang itu belum
mendapatkan uangnya sedikitpun, lalu ia menemukan adanya barang pada si
pembeli, maka ia (si penjual) sangat berhak terhadap barang tersebut. Dan jika
orang yang membeli itu meninggal, maka pemilik barang (dalam hal itu) menjadi
panutan bagi orang-orang yang memiliki utang”[7]
Hadits tersebut menunjukkan bahwa yang
paling berhak untuk menyita harta yang ada pada orang yang bangkrut adalah yang
mengutangkan.[8]
Imam Malik
menjelaskan tentang hal tersebut, tentang seseorang yang menjual barangnya
kepada orang lain, kemudian si pembeli bangkrut, maka jika si penjual menemukan
barangnya sendiri masih ada padanya, maka ia boleh mengambilnya.[9]Untuk
lebih jelasnya dapat diambil sebuah contoh: Ahmad utang satu setel meja dari
Amir, dan Ahmad meminjam uang sejumlah Rp.500.000,00 kepada Jamil. Di kemudian
hari, Ahmad jatuh bangkrut. Ketika itu Ahmad ditagih oleh Amir dan Jamil tetapi
ia (Ahmad) tidak punya uang untuk membayarnya, sementara satu setel meja masih
ada pada Ahmad (orang yang bangkrut). Maka yang lebih berhak menyita satu setel meja itu
adalah Amir daripada Jamil.[10]
Imam Malik
menambahkan, jika si pembeli telah menjual sebagian barang dan memisahkannya,
maka pemilik barang lebih berhak dengan barangnya tersebut daripada pihak
peminjam. Barang yang telah dipisahkan oleh pembeli tidak dapat menghalangi hak
penjual untuk mengambil barang yang ia temukan kembali. Jika ia menuntut uang
dari pembeli, maka ia boleh mengembalikannya dan menahan barang yang ia
temukan. Dan jika itu terjadi selama tidak menemukan pemberi utang baru, maka
barang tersebut dapat menjadi miliknya.[11]
B.
Pembayaran Utang dan Penyitaan Harta Muflis
Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, bahwa Ibnu Rusyd menyebutkan dua definisi taflis,sehingga para
ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya yaitu :taflis dalam definisi yang
pertama (yaitu apabila menurut penguasa telah tampak kebangkrutannya).
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut, apakah para penguasa dibolehkan
untuk melarangnya membelanjakan hartanya hingga ia menjualnya untuk melunasi
utang tersebut dan membagikannya kepada orang-orang yang berpiutang sesuai
dengan persentase piutang mereka atau tidak boleh melakukan hal tersebut?
Melainkan menahannya hingga ia menyerahkan kepada mereka seluruh hartanya
sesuai dengan persentase yang telah disepakati atau untuk orang yang telah
disepakati di antara mereka.
Dan
perselisihan ini sendiri dapat digambarkan pada orang yang memiliki harta yang
dapat melunasi utangnya, kemudian orang yang berutang tersebut menolak untuk
membagikan hasilnya kepada orang yang berpiutang, apakah penguasa boleh
menjualnya kemudian membagikan hasilnya kepada mereka ataukan ia menahannya
hingga ia memberikan dengan tangannya apa yang wajib atasnya.
Mengenai
hal tersebut jumhur ulama berpendapat bahwa penguasa harus menjual harta tersebut
kemudian membagikan hasilnya kepada para piutang apabila dalam waktu yang lama,
atau menghukuminya dengan suatu kebangkrutan da apabila hartanya tidak cukup
untuk membayar utang-utangnya, maka penguasa melarangnya untuk membelanjakan
hartanya. Hal tersebut merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i,
sedangkan Imam Abu Hanifah dan sejumlah penduduk Iran berpendapat lain.
Dalil
yang digunakan Imam Malik dan Imam Syafi’i adalah hadits Mu’adz bin Jabal.
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَارِثِ الأَصْبَهَانِىُّ
أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ زَكَرِيَّا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ
وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ كَعْبٍ : أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ وَهُوَ أَحَدُ قَوْمَهِ مِنْ
بَنِى سَلَمَةَ كَثُرَ دَيْنُهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- فَلَمْ يَزِدْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- غُرَمَاءَهُ عَلَى أَنْ
خَلَعَ لَهُمْ مَالَهُ.
“...Yunus bin Yazid dari Az-Zuhri berkata : Abdurrahman ibn Ka’b
menceritakan kepadaku : Bahwa Mu’adz bin Jabal adalah salah satu kaumnya dari
Bani Salamah yang utangnya telah banyak pada zaman Rasulullah SAW, maka
hartanya tidak mencukupi untuk melunasinya kepada orang yang berpiutang”[12]
Serta hadits Abu Sa’id al-Khudry:
أَنَّ
رَجُلًا أُصِيْبَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِى ثِمَارِ ابْتَاعِهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَصَدَّقُوْا عَلَيْهِ فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَلَمْ
يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءً بِدَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَاءِهِ خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا
ذَلِكَ.[13]
“Bahwa seseorang telah tertimpa musibah pada zaman Rasulullah
SAW dalam buah yang telah ia beli sehingga utangnya menjadi banyak, kemudian
Rasulullah SAW bersabda: “Bersedekahlah kalian kepadanya”, kemudian orang-orang
bersedekah kepadanya namun hal tersebut tidak cukup untuk membayar utangnya,
kemudian Rasulullah SAW bersabda “Ambillah apa yang kalian dapatkan dan tidak
ada lagi untuk kalian kecuali hal tersebut”.[14]
Hadits Umar mengenai keputusannya
terhadap seorang laki-laki yang pailit dengan penahanan dirinya, dan
perkataannya mengenai hal tersebut, “Adapun selanjutnya, sesungguhnya Usaifi’
(Usaifi’ Juhainah) telah rela dengan utangnya serta amanahnya untuk dikatakan
ia telah mendahului orang yang telah berhaji, dan ia telah membeli sesuatu
secara kredit untuk menghindari membayar secara tunai kemudian setelah itu ia
ditimpa kehancuran(pailit), barangsiapa yang memiliki barang padanya maka
hendaknya ia mendatangi kami.[15]
Adapun hujjah atau dalil yang
dipakai oleh kelompok kedua yang berpendapat dengan penahanan sampai menunaikan
kewajibannya dan meninggal dalam keadaan tertahan, kemudian hakim saat itu
menjual hartanya dan membagikan hasilnya kepada para pemilik utang adalah
hadits Jabir bin Abdullah ketika bapaknya mati syahid di perang Uhud dan ia
memiliki utang, saat pemilik piutang menuntutnya.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ
أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ كَعْبِ بْنِ
مَالِكٍ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ
أَنَّ أَبَاهُ قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ شَهِيدًا وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَاشْتَدَّ
الْغُرَمَاءُ فِي حُقُوقِهِمْ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُمْ أَنْ يَقْبَلُوا تَمْرَ حَائِطِي وَيُحَلِّلُوا أَبِي
فَأَبَوْا فَلَمْ يُعْطِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَائِطِي وَقَالَ سَنَغْدُو عَلَيْكَ فَغَدَا عَلَيْنَا حِينَ أَصْبَحَ فَطَافَ
فِي النَّخْلِ وَدَعَا فِي ثَمَرِهَا بِالْبَرَكَةِ فَجَدَدْتُهَا فَقَضَيْتُهُمْ
وَبَقِيَ لَنَا مِنْ تَمْرِهَا[16]
“Dari Az-Zuhri berkata: Ibnu Ka’ab bin Malik
telah menceritakan kepadaku bahwa Jabir bin Abdullah r.a mengabarkan bahwa
ayahnya telah mati syahid dan ia mempunyai utang dan orang-orang yang memberi
utang itu menagihnya, lalu aku mendatangi Rasulullah SAW, lalu ia meminta
kepada mereka untuk menerima kebun dariku dan membebaskan ayahku dari utang
tersebut, namun mereka menolak maka Rasulullah tidak memberikan kebunku kepada
mereka, beliau bersabda: kami akan datang kepadamu, Insyaallah”, Jabir berkata
“kemudian beliau mendatangi kami pagi hari, lalu beliau mengelilingi pohon
kurma dan mendoakan buahnya agar mendapatkan berkah kemudian kami memanennya
dan membayar hak-hak mereka dari buah tersebut dan masih ada sisa dari buah
tersebut ”.
Sedangkan orang-orang atau lembaga
yang berhak menyita harta muflis adalah:
1.
Orang
yang mengutangkan, sebab dialah yang yang paling berhak atas barang-barangnya.[17]Pemiutang
berhak menagih penghutang yang tidak tetap pada kemelaratannya, selagi
penghutang tidak memilih ditahan; kalau memilih ditahan, maka dilakukan
penahanan atasnya; biaya penahanan maupun penagih menjadi tanggungan
penghutang.[18]
2.
Juru
sita bila persoalan ini telah sampai ke pengadilan.[19]
Hakim (pengadilan) berhak memaksa orang yang enggan untuk membayar
kewajibannya, baik dengan cara menahannya atau bentuk ta’zir yang lain.
C.
Larangan Penggunaan Harta bagi Muflis
Tiga imam mazhab, yaitu Imam Maliki,
Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat atas larangan penggunaan harta bagi orang
yang pailit (muflis) ketika diminta oleh orang yang berpiutang dan
ketika dililit utang. Hal itu menjadi hak hakim. Hakim berhak mencegah muflis
menggunakan hartanya agar tidak merugikan pemberi utang kepadanya. Hakim pun
boleh menjual harta bendanya jika muflis itu tidak menjualnya sendiri
atau enggan membaginya kepada para pemberi utang dengan sebanding.
Imam Hanafi berpendapat bahwa orang
pailit tidak boleh membelanjakan hartanya, tetapi harus dipenjarakan hingga ia
membayar utangnya. Jika ia memiliki harta benda, hakim tidak boleh menggunakan
hartanya atau menjualnya, kecuali jika harta itu satu dirham, sedangkan jumlah
hartanya adalah beberapa dirham. Jika demikian, hakim boleh memegangnya tanpa
menunggu perintah dari muflis. Jika utangnya adalah beberapa dirham,
sedangkan hartanya adalah beberapa dinar, hakim boleh menjualnya untuk
membayarkan utangnya.[20]
Para imam mazhab berbeda pendapat
dalam masalah penggunaan muflis terhadap hartanya sesudah adanya
larangan hakim untuk menggunakannya.
a.
Imam
Hanafi
berpendapat bahwa orang tersebut tidak dilarang untuk menggunakan
hartanya. Oleh karena itu, jika hakim memutuskan hajr(larangan
menggunakan harta), keputusan tersebut tidak sah sebelum ditetapkan lagi oleh
hakim kedua. Kalau pelarangan penggunaan harta tidak dibenarkan, sah lah
penggunaan seluruhnya, baik berupa perbuatan yang menerima fasakh seperti
pernikahan, maupun tindakan yang lain.[21]
b.
Imam
Maliki berpendapat bahwa muflis tidak
boleh menggunakan hartanya, baik dengan jalan menjual, menghibahkan, maupun
memerdekakan.
c.
Imam
Syafi’i mempunyai dua pendapat, salah
satunya seperti pendapat Imam Maliki diatas. Dan yang kedua adalah
penggunaannya sah tetapi ditangguhkan. Jika dapat diselesaikan semua utang
tanpa mengganggu penggunaannya, maka penggunaan-penggunaan tersebut dibatalkan,
seperti hibah, menjual dan memerdekakan.
[1]
Al-Imam
Asy-Syaukani, Mulakhkhash Nailul Authar (Jakarta:Pustaka Azzam,2006),
hal 134.
[2]Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali (selanjutnya kami tulis dengan
Al-Ghazali), Al-Wajiiz fi Fiqh asy-Syafi’i Juz 1(Beirut:Darul Arqam,1997),
hal. 337.
[3]Abu al-Walid
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusy(selanjutnya
akan kami tulis dengan Ibnu Rusyd), Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid Juz 2 (Surabaya:Al-Hidayah, t.tahun), hal.213.
[4]
Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2010), hal.229.
[5]
Aliy As’ad, Terjemah
Fathul Mu’in Jilid 2 (Yogyakarta:Menara Kudus,t.tahun),hal.229.
[6]
Al-Imam
Asy-Syaukani, op. Cit., hal.136
[7]
Imam Malik, Terjemah
Al-Muwaththa’ (Jakarta:Pustaka Azzam,2006), hal.87.
[8]
Hendi Suhendi, op.
cit.
[9]
Imam Malik, op.
Cit., hal.88
[10]
Hendi Suhendi, op.
cit.
[11]
Imam Malik, op.
Cit.
[12]
Abu Bakr Ahmad
bin Husein bin Ali Al-Baihaqi (selanjutnya ditulis Al-Baihaqi),Sunan
Al-Kubra Juz 10 (t.kota terbit dan penerbit, 1344 H), hal.8077
[13]
Muhammad
Dhiyaurrahman Al-A’zhamiy(selanjutnya ditulis Al-A’zhamiy), Al-Mannah
Al-Kubra Syarah wa Takhrij As-Sunan As-Sughra Juz 9(Riyadh:Maktabah
Ar-Rusyd,2001),hal.291
[14]Shahih. HR.Muslim
(1556), Abu Daud (3469), at-Tirmidzi (655), An-Nasa’i (7/265), Ibnu Majah
(2356), dan Ahmad (3/36, 58)
[15]
Ibnu Rusyd, op.
Cit., hal.214
[16]
Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al Bukhari Abu Abdillah (selanjutnya ditulis
Abu Abdillah), Al-Jami’ Al-Musnad Shahih Bukhari Juz 4 (t.kota
terbit:Dar Thuqunnajah,1422), hal.117.
[17]
Hendi Suhendi, op.
Cit., hal.230
[18]
Aliy As’ad, op.
Cit., hal. 230
[19]
Hendi Suhendi, op.
Cit.,
[20]
Abdullah Zaki
Alkaf, Fiqh Empat Mazhab (Tanpa kota terbit:Hasyimi Press,2001),hal.255.
[22]
Ibid.
titanium gold | Stainless Steel | Titanium Art - Titanium Arts
BalasHapusTitanium titanium mens wedding band has become known as a cutting stone for the titanium cookware making of titanium jewelry stainless steel for titanium mens rings its stainless steel construction. This cutting tool is used titanium ingot in all