BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Bahasa Indonesia
Setelah VOC
(Belanda) mengubah taktik hubungan perdagangannya ke dalam hubungan penjajahan,
maka Belanda merasa perlu untuk menggunakan bahasa pengantar dalam penjajahan.
Langkah pertama yang dilakukannya adalah menggunakan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar penjajahan. Namun, bangsa Indonesia banyak yang tidak mampu
menggunakan bahasa Belanda tersebut, sehingga Belanda mencari alternatif lain
yaitu mencari bahasa daerah setempat yang dapat dijadikan bahasa pengantar
penjajahan. Bahasa pengantar dalam penjajahan sangat penting karena tanpa
bahasa pengantar, penjajahan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Setelah
diadakan penelitian oleh para ahli bahasa dari Belanda, maka dijadikanlah
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Hal ini disebabkan karena bahasa Melayu
sudah menjadi bahasa perdagangan dan bahasa yang banyak dipahami oleh
masyarakat setempat.
Sejak itu,
bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar penjajahan kedua yang bahasa
pertamanya tentu saja bahasa Belanda. Oleh karena, bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar penjajahan, maka penggunaan bahasa Melayu semakin menyebar luas ke
berbagai pelosok tanah air.[1]
Bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Melayu termasuk rumpun bahasa Austronesia yang
telah digunakan sebagai lingua franca di Nusantara sejak abad-abad awal
penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa
sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu pasar. Jenis ini sangat
lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan
sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang
digunakan para penggunanya.
Selain Melayu
pasar terdapat pula istilah Melayu tinggi. Pada masa lalu bahasa Melayu
tinggi digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan
Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh
sindiran, dan tidak seekspresif Melayu pasar. Pemerintah kolonial Belanda yang
menganggap kelenturan Melayu pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya.
Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu tinggi, di
antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu tinggi oleh Balai
Pustaka. Tetapi bahasa Melayu pasar sudah terlanjur diambil oleh banyak
pedagang yang melewati Indonesia.
Penamaan
istilah “bahasa Melayu” telah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu
angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu kuno dari
Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas
perintah raja Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7
dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu kuno di Jawa
Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga
menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Awal penamaan
bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional Kedua di
Jakarta, dicanangkanlah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara
Indonesia pasca-kemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa
(yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih
bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari bahasa Melayu yang dituturkan di
Riau.
Bahasa Melayu
Riau dipilih sebagai bahasa persatuan negara Republik Indonesia atas beberapa
pertimbangan sebagai berikut:
1.
Jika
bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia
akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di
Republik Indonesia.
2.
Bahasa
Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada
tingkatan bahasa halus, biasa dan kasar yang digunakan untuk orang yang berbeda
dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya
Jawa, ia akan menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3.
Bahasa
Melayu Riau yang dipilih, dan bukan bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin,
Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan : Pertama,suku
Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas
Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, sebagai lingua franca,
bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya bahasa Tionghoa
Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4.
Pengguna
bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada 1945, pengguna
bahasa Melayu selain Republik Indonesia yaitu Malaysia, Brunei dan Singapura.
Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan,
diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei dan Singapura bisa
ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia
Tenggara.
Dengan memilih
bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu seperti pada masa Islam
berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.
Bahasa Indonesia yang telah dipilih ini kemudian distandarisasi (dibakukan)
lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini
telah dilakukan pada zaman penjajahan Jepang.
Keputusan
Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, antara lain menyatakan bahwa bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang
dari bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah digunakan sebagai bahasa
perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara,
melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu
mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan
itu adalah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit, berangka 683 M
(Palembang); Talang Tuwo, berangka 684 M. (Palembang); Kota Kapur, berangka 686
M. (Bangka Barat); dan Karang Brahi, berangka 688 M. (Jambi). Prasasti itu
bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu kuno. Bahasa Melayu Kuno itu tidak
hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga
ditemukan prasasti berangka tahun 942 M. yang juga menggunakan bahasa Melayu
Kuno.
Pada zaman
Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku
pelajaran agama Buddha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan
antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa
antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para
pedagang yang datang ari luar Nusantara.
Informasi dari
seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Buddha di Sriwijaya,
antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-luen
(I-Tsing, 63: 159), Kuo-luen (I-Tsing, 183), Koen-luen (Ferrand,1919),
Kw’enlun (Alisjahbana, 1971: 1089), Kun ‘lun (Parnikel, 1977:
91), Kun ‘lun (Prentice, 1078: 19), yang berdampingan dengan Sanskerta.
Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca)
di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan
dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan
Islam, baik yang berupa batu bertulis seperti tulisan pada batu nisan di Minye
Tujoh, Aceh, berangka 1380 M., maupun hasil susastra (ahad ke-16 dan ke-17),
seperti Syair Hamzah Fansuri Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu,
Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu
menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di
wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara
sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa,
dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai
di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah dan
bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah
Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa
Melayu menyerap kosakata dai berbagai bahasa terutama dari bahasa Sanskerta,
Persia, Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya
muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan
bahasa Melayu di wilayah Nusantara memengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa
persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar-perkumpulan yang
bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Pemuda Indonesia yang
tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa
Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Peristiwa-peristiwa
penting berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia di antaranya:
1.
Pada
1901, disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuisjen
dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2.
Pada
1908, pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi
nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian
pada 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku
novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun
bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu
penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3.
Pada
28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan dalam perkembangan
bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan memancangkan
tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa Indonesia.
4.
Pada
1933, secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan
dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan
kawan-kawan.
5.
Pada
tarikh 25-28 Juni 1938, dilangsungkanlah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo.
Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan
Indonesia saat itu.
6.
Pada
18 Agustus 1945, ditandatanganilah Undang-Undang Dasar RI 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
7.
Pada
19 Maret 1947, diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai
pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
8.
Kongres
Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober-2 November 1954 juga salah
satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus menerus menyempurnakan
bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai
bahasa negara.
9.
Pada
16 Agustus 1972, H.M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan
penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato
kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden
No. 57 Tahun 1912.
10.
Pada
31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah
resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
11.
Kongres
Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober-2 November
1978 merupakan peristiwa penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. Kongres yang
diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yag ke-50 ini selain
memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak
1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
12.
Kongres
Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 21-6 November 1983.
Ia diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55.
Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal
mungkin.
13.
Kongres
Bahasa Indonesia V diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 28 Oktober-3 November
1988. Ia dihadiri oleh kira-kira 700 pakar bahasa Indonesia dari seluruh
Nusantara (sebutan bagi negara Indonesia) dan peserta tamu dari negara sahabat
seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia.
Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa kepada pecinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
14.
Kongres
Bahasa Indonesia VI diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober-2
November 1993. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53
peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman,
Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika
Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan
statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya
Undang-Undang Bahasa Indonesia.
15.
Kongres
Bahasa Indonesia VII diselenggarakan di Hotel Indonesia, Jakarta pada 26-30
Oktober 1998. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Keanggotaannya
terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang mempunyai kepedulian terhadap
bahasa dan sastra.
b.
Tugasnya
memberikan nasihat kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta
mengupayakan peningkatan status kelembagaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
16.
Kongres
Bahasa Indonesia VIII diselenggarakan di Jakarta pada 14-17 Oktober 2003.
17.
Kongres
IX Bahasa Indonesia. Kongres ini akan membahas tiga persoalan utama: 1) bahasa
Indonesia; 2) bahasa daerah; 3) penggunaan bahasa asing. Tempat kongres di
Jakarta, pada 28 Oktober-1 November 2008 di Hotel Bumi Karsa, Kompleks
Bidakara, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Secara umum, Kongres IX Bahasa
Indonesia ini bertujuan meningkatkan peran bahasa dan sastra Indonesia dalam
mewujudkan insan Indonesia cerdas kompetitif menuju Indonesia yang bermartabat,
berkepribadian, dan berperadaban unggul.[2]
B.
Aspek Bahasa
Bahasa
merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal yang
bersifat arbiter, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata.
Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia
harus diberikan makna tertentu. Simbol adalah tanda yang diberikan makna
tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap panca indra.
Bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi
vokal yang dihasilkan oleh alat manusia, dan arti atau makna yaitu hubungan
antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau hal yang diwakilinya itu. Bunyi
merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita, sedangkan arti adalah
isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan
dari orang lain.
Arti yang terkandung dalam suatu
rangkaian bunyi bersifat arbiter atau manasuka. Arbiter atau manasuka berarti
tidak ada keharusan bahwa suatu rangkaian tertentu harus mengandung arti yang
tertentu pula. Makna sebuah kata tergantung dari konvensi masyarakat bahasa
yang bersangkutan. Jadi, makna kata tergantung kepada masyarakat pemakainya.
Dalam sejarah bahasa pernah diperdebatkan
apakah ada hubungan yang wajar antara kata dengan bendanya. Satu kelompok
mengatakan ada; untuk itu diusahakan bermacam-macam keterangan mengenai
timbulnya kata-kata dalam bahasa. Etimologi merupakan hasil kerja dari kelompok
ini. Namun, etimologi yang mula-mula timbul untuk mendukung pendapat ini
terlalu dibuat-buat sehingga sulit diterima. Usaha lain yang mempertahankan
pendapat ini adalah onomatope (kata peniru bunyi). Namun hal ini pun sangat
terbatas. Terakhir dikemukakan bahwa tiap bunyi sebenarnya mengandung
nilai-nilai tertentu, misalnya vokal a, u, o; menyatakan sesuatu yang besar,
rendah, dan berat. Sebaliknya, vokal i dan e menyatakan sesuatu yang sangat
tinggi, kecil, dan tajam. Dengan demikian, pendapat lain lebih dapat diterima
bahwa antara kata dengan barangnya tidak terdapat suatu hubungan khusus.
Hubungan itu bersifat arbirter, sesuai dengan konvensi masyarakat bahasa yang
bersangkutan.[3]
C.
Hakikat Bahasa
1.
Oral
Yang dimaksud dengan oral adalah bunyi. Ciri bahwa bahasa adalah
bunyi wajar mengingat kenyataan bahwa pengalaman berbahasa yang paling umum
pada manusia adalah berbicara dan menyimak. Kehadiran bunyi bahasa lebih dahulu
daripada kehadiran tulisan.
Tulisan atau sistem tulisan hanyalah mampu mewakili sebagian dari
isyarat penting yang terdapat dalam ucapan. Bahkan sistem tulisan bisa mewakili
bunyi yang berbeda, baik dalam bahasa yang sama maupun dalam bahasa yang
berbeda. Ada kecenderungan orang yang menganggap bunyi dan tulisan sebagai
unsur pembeda bahasa, sehingga dipahami ada bahasa lisan dan bahasa tulis. Akan
tetapi jika perbedaan seperti itu diberlakukan, haruslah dipahami bahwa bahasa
lisan itu bersifat primer dan bahasa tulis bersifat sekunder. Orang dapat
berbahasa tanpa mengenal tulisannya.
2.
Sistematis
Kata sistem dapat diartikan sebagai cara atau aturan. Sebagai
sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Yang dimaksud
dengan sitematis adalah bahwa bahasa itu tersusun menurut suatu pola:
tidak tersusun secara acak dan sembarangan. Sistemis adalah bahasa itu
merupakan sistem tunggal, tetapi juga terdiri dari sub-sistem; atau sistem
bawahan.
Perhatikan contoh berikut:
Kami sedang
belajar bahasa Indonesia
Tidak dapat kita buat menjadi:
Sedang belajar
kami bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia
sedang belajar kami.
Kami bahasa
Indonesia sedang belajar.
3.
Arbitrer
Kata “arbitrer” bisa diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak
tetap, mana suka. Yang dimaksud dengan istilah arbiter adalah tidak adanya
hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau
pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Dalam bahasa Indonesia, kita
mengenal kerbau sebagai “sejenis binatang memamah biak yang biasa
diternakkan, bentuknya seperti lembu tetapi besar, umumnya berbulu kelabu”.
Dari definisi itu kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut
dilambangkan dengan bunyi “kerbau”. Mengapa tidak dinamakan “bauker” atau
“bakeru”, atau lambang lainnya.[4]
4.
Konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya
bersifat arbitrer, tetapi penggunaannya harus bersifat konvensional. Bahasa
tersebut dikatakan konvensional sebagai sifat kesepakatan bersama. Hal yang
perlu dipahami adalah kenyataan bahwa kesepakatan itu bukanlah formal yang
dinyatakan melalui musyawarah, sidang rapat, atau kongres, atau rapat raksasa
untuk menentukan lambang tertentu.[5]
5.
Unik dan Universal
Setiap bahasa memiliki ciri khasnya sendiri yang tidak terdapat
pada bahasa lain. Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang
tidak dimiliki oleh bahasa yang lain. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem
bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem
yang lainnya.[6]
Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada
ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini.
Misalnya pada setiap bahasa terdapat unsur bunyi yang terpilah menjadi dua,
yakni vokal dan konsonan. Bukti lain dari keuniversalan bahasa
adalah bahwa setiap bahasa mempunyai satuan-satuan bahasa yang bermakna, entah
satuan yang namanya kata, frausa, klausa, kalimat, dan wacana. Walau
pembentukan satuan-satuan itu mungkin tidak sama, maka hal itu merupakan
keunikan dari bahasa tersebut.
6.
Beragam
Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam
suatu masyarakat bahasa. Yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa adalah
mereka yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Ragam bahasa bermacam-macam
bergantung pada dasar klasifikasinya. Mengenai ragam bahasa ini, ada tiga
istilah yang harus dipahami, yaitu idiolek, dialek, dan ragam.
Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat
perseorangan. Setiap orang mempunyai ciri khas bahasanya masing-masing. Dialek
adalah variasi bahasa yang digunakan sekelompok anggota masyarakat pada suatu
tempat atau suatu waktu. Dialek dapat dibagi berdasarkan wilayah/daerah
pemakaiannya dan dialek berdasarkan kelompok masyarakat pemakainya. Ragam ialah
variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan
tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam-ragam baku atau ragam standar,
untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau
nonstandar. Dari sarana yang digunakan dapat dibedakan adanya ragam lisan dan
ragam tulis.
7.
Berkembang
Perkembangan bahasa yang sangat mencolok pada saat ini terdapat
pada unsur leksikon. Kata-kata seperti sempadan, dampak, kiat dan senarai
merupakan kata-kata yang menunjukkan perkembangan leksikon dalam bahasa
Indonesia, walaupun di antara kata-kata itu dulu pernah ada pada bahasa
Indonesia atau bahasa Melayu.
Dalam bahasa Indonesia, misalnya, dapat diyakini bahwa kata-kata analisis,
metode, kenvensi, operasi, distribusi, konkret,dan lain-lain merupakan
kata-kata yang berasal dari bahasa asing (bahasa Inggris atau bahasa Belanda).
Dalam perkembangannya, unsur-unsur yang merupakan wujud perkembangan itu tidak
lagi disadari oleh penuturnya.[7]
8.
Produktif
Bahasa dikatakan bersifat produktif karena bahasa itu terus menerus
menghasilkan. Artinya, meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan
unsur-unsur yang terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya
tidak terbatas.[8]
9.
Dinamis
Bahasa merupakan fenomena sosial. Bahasa adalah satu-satunya milik
manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia
sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan
bermasyarakat. Kita tidak dapat memisahkan bahasa dari kebudayaan, sebab
hubungan antara keduanya sangat erat karena keterikatan dan keterkaitan bahasa
itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat tidak
tetap dan selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi
tidak tetap, dan menjadi tidak statis. Inilah yang kita sebut bahasa itu
dinamis, artinya selalu mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi pada semua
tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.
10.
Bersifat Insani
Bahasa dikatakan bersifat insani karena hanyalah manusia yang
memiliki bahasa. Bahasa merupakan suatu aspek perilaku yang bisa dipelajari
hanya oleh manusia. Walaupun binatang juga menggunakan bahasa, namun binatang
tidak dapat menggunakan lambang-lambang bahasa untuk menyatakan pikirannya.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa bahasa dapat menumbuhkembangkan kemampuan
manusia untuk berkomunikasi dan menempatkan peradabannya jauh di atas berbagai
bentuk kehidupan makhluk yang lebih rendah.
D.
Fungsi Bahasa
Jika kita lihat dari fungsi bahasa,
penganalisisan wacana berarti penganalisisan bahasa dalam pemakaiannya.
Analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Dalam arti yang
paling sederhana, kata fungsi dapat dipandang sebagai padanan kata penggunaan.
Dengan demikian, jika kita berbicara tentang fungsi bahasa, dapat diartikan
cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila mereka
berbahasa lebih dari satu.
Ada beberapa pengelompokan fungsi
kebahasaan yang sudah dikenal, misalnya pengelompokan yang diketengahkan oleh
Malinowski, yang berkaitan dengan kajiannya tentang situasi dan makna.
Malinowski mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, yaitu yang
pragmatik dan yang magis.
Sebagai seorang pakar antropologi, ia
tertarik kepada penggunaan bahasa yang praktis atau pragmatik yang dibaginya
lagi ke dalam penggunaan bahasa yang aktif dan bahasa yang naratif. Di pihak
lain, ia juga tertarik pada penggunaan bahasa yang ritual atau magis yang
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan seremonial atau keagamaan dalam kebudayaan.
Sedangkan seorang psikolog Austria, Karl
Buhler membedakan fungsi bahasa kedalam:
1.
Bahasa
ekspresif, yaitu bahasa yang terarah pada
diri sendiri, si pembicara.
2.
Bahasa
konatif, yaitu bahasa yang terarah pada
lawan bicara.
3.
Bahasa
representasional, yaitu bahasa
yang terarah pada kenyataan lainnya yaitu apa saja selain si pembicara atau
lawan bicara.
Pendapat Buhler ini
dikembangkan lagi oleh Roman Jakobson, yang menambahkan tiga fungsi lagi,
yaitu:
1.
Fungsi
poetik, yaitu terarah pada pesannya.
2.
Fungsi
transaksional, yaitu terarah
pada sasarannya.
3.
Fungsi
metalinguistik, yaitu terarah
pada kodenya atau lambangnya.
Halliday mengatakan bahwa
secara makro, fungsi-fungsi bahasa dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Fungsi
ideasional, untuk membentuk, mempertahankan, dan memperluas hubungan di
antara anggota masyarakat.
2.
Fungsi
interpersonal, untuk menyampaikan informasi di antara anggota
masyarakat.
3.
Fungsi
tekstual, untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus (wacana)
yang relevan dengan situasi.
Menurut Halliday, fungsi ideasional berkaitan dengan peranan bahasa
untuk pengungkapan isi, pengungkapan pengalaman penutur tentang dunia nyata,
termasuk dunia dalam dari kesadarannya sendiri. Fungsi interpersonal, berkaitan
dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk
pengungkapan peranan-peranan sosial, termasuk peranan-peranan komunikasi yang
diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Dan fungsi tekstual dikatakan berkaitan
dengan tugas-tugas bahasa untuk membentuk berbagai mata rantai kebahasaan dan
mata rantai unsur situasi (features of the situation) yang memungkinkan
digunakannya bahasa oleh para pemakainya.
Setelah fungsi-fungsi yang telah disebutkan, ada lagi yang membagi
fungsi bahasa atas lima bagian, yaitu personal, interpersonal, diraktif,
referensial, dan imajinatif.
1.
Fungsi
Personal, adalah kemampuan pembicaraannya,
misalnya cinta, kesenangan, kekecewaan, kesusahan, kemarahan dan sebagainya.
2.
Fungsi
Interpersonal, adalah
kemampuan kita untuk membina dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Hubungan ini membuat hidup dengan orang lain lebih baik dan menyenangkan.
3.
Fungsi
Direktif, memungkinkan kita untuk mengajukan
permintaan, saran, membujuk, meyakinkan, dan sebagainya.
4.
Fungsi
Referensial, adalah yang
berhubungan dengan kemampuan menulis atau berbicara tentang lingkungan kita
yang terdekat dan juga mengenai bahasa itu sendiri.
5.
Fungsi
Imajinatif, adalah
kemampuan untuk dapat menyusun irama, sajak, cerita tertulis maupun lisan. Fungsi
ini sukar diajarkan, kecuali kalau siswanya memang berbakat untuk hal-hal
semacam itu. [9]
Sedangkan fungsi bahasa yang
utama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di dalam
kehidupan manusia bermasyarakat. Untuk berkomunikasi sebenarnya dapat juga
digunakan cara lain, misalnya isyarat, lambang-lambang gambar atau kode-kode
tertentu lainnya. Tetapi dengan bahasa komunikasi dapat berlangsung lebih baik
dan lebih sempurna.
Bahasa Indonesia sendiri, yang mempunyai kedudukan sebagai bahasa
nasional dan bahasa resmi negara di tengah-tengah berbagai macam bahasa daerah,
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.
Alat
untuk menjalankan administrasi negara. Ini
berarti, segala kegiatan administrasi kenegaraan, seperti surat menyurat dinas,
rapat-rapat dinas, pendidikan, dan sebagainya harus diselenggarakan dalam
bahasa Indonesia.
2.
Alat
pemersatu berbagai suku bangsa di Indonesia.
Komunikasi di antara anggota suku bangsa yang berbeda kurang mungkin dilakukan
dalam salah satu bahasa daerah dari anggota suku bangsa itu. Komunikasi lebih
mungkin dilakukan dalam bahasa Indonesia. Karena komunikasi antarsuku ini
dilakukan dalam bahasa Indonesia, maka akan terciptalah perasaan “satu bangsa”
di antara anggota suku-suku bangsa itu.
3.
Media
untuk menampung kebudayaan nasional.
Kebudayaan daerah dapat ditampung dengan media bahasa daerah; tetapi kebudayaan
nasional Indonesia dapat dan harus ditampung dengan media bahasa Indonesia.[10]
E.
Ragam Bahasa
Berbicara
tentang ragam bahasa, setiap pembicara menggunakan suatu ragam bahasa. Ragam
demikian disebut dialek. Ragam menurut pemakai ini bukan saja bertalian dengan
tempat, tetapi juga ada yang bertalian dengan kemasyarakatan. Ragam bahasa
seperti ini disebut dialek sosial.
1.
Ragam dari Sudut Pandang Bidang
Ragam dari
sudut pandangan bidang atau pokok persoalan berhubungan dengan profesi,
kegemaran, dan pengalamannya. Bidang yang dimaksudkan itu, misalnya agama,
politik, ilmu, teknologi, pertukangan, seni rupa, dan seni sastra, olahraga dan
sebagainya.[11]
2.
Ragam Bahasa Menurut Media
Berdasarkan
media yang digunakan, ragam bahasa terbagi du, yaitu ragam lisan dan ragam
tulisan. Ragam bahasa lisan ditandai dengan penggunaan lafal atau pengucapan,
intonasi, kosakata, penggunaan tatabahasa dalam pembentukan kata, dan
penyusunan kalimat.
Ragam tulis
ditandai dengan kecermatan menggunakan ejaan dan tanda baca. Kosakata,
penggunaan tatabahasa dalam pembentukan kata, penyusunan kalimat, paragraf dan
wacana.
3.
Ragam Bahasa Berdasarkan Waktu
Berdasarkan
waktu terdapat ragam bahasa lama dan ragam bahasa baru. Ragam bahasa lama lazim
digunakan dalam penulisan naskah-naskah lama (kuno). Ragam ini perlu dipahami oleh
orang-orang yang ingin mengkaji peristiwa-peristiwa masa lalu. Misalnya
bahasa-bahasa yang terdapat pada kodekologi (naskah kuno). Ragam bahasa baru
ditandai dengan penggunaan kata-kata baru, ejaan yang disempurnakan
mengekspresikan ilmu pengetahuan dan teknologi modern seperti internet,
jaringan dan seluler.
4.
Ragam Bahasa Berdasarkan Pesan Komunikasi
Ragam
berdasarkan pesan komunikasi ini terbagi berdasarkan pada sarana komunikasinya.
Ragam-ragam tersebut adalah: ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa pidato, ragam
bahasa tulis, ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa berita.
a)
Ragam
bahasa ilmiah
Ragam bahasa
ilmiah adalah sarana verbal yang efektif, efisien, baik, dan benar. Ragam ini
lazim digunakan untuk mengkomunikasikan proses kegiatan dan hasil penalaran
ilmiah.
Ciri ragam
bahasa ilmiah adalah:
1)
Struktur
kalimat jelas dan bermakna lugas,
2)
Struktur
wacana bersifat formal, mengacu pada standar konvensi naskah,
3)
Singkat,
berisi analisis dan pembuktian, menyajikan konsep secara lengkap,
4)
Cermat
dalam menggunakan unsur baku dan istilah/kata, ejaan, bentuk kata, kalimat,
paragraf, dan wacana,
5)
Cermat
dan konsisten menggunakan penalaran dari penentuan topik, pendahuluan,
deskripsi teori, deskripsi data, analisis data, hasil analisis, sampai pada
simpulan dan saran,
6)
Menggunakan
istilah khusus yang bersifat teknis dalam bidang ilmu tertentu,
7)
Objektif,
dapat diukur keberadaannya secara terbuka oleh umum, menghindarkan bentuk
pesona, dan ungkapan subjektif,
8)
Konsisten
dalam pembahasan topik, pengendalian variabel, permasalahan, tujuan, penalaran,
istilah, sudut pandang, pendahuluan, landasan teori, deskripsi data, analisis
data, hasil penelitian, sampai pada simpulan dan saran.
Materi ragam bahasa ilmiah digunakan dalam kajian ilmu pengetahuan
dan teknologi yang terkait dengan penulisan upaya pencarian, penemuan,
pengolahan, dokumentasi, analisis, atau publikasi dalam bentuk: proposal
penelitian, reproduksi suatu konsep, pembuktian suatu kebenaran teori, temuan
teori baru, pengembangan teori sehingga menghasilkan temuan teori baru atau
konsep yang belum pernah ada.
b)
Ragam
bahasa pidato
Ragam pidato
dipengaruhi oleh tujuan, situasi, dan pendekatan isi pidato. pidato resmi
menyajikan materi-materi yang bersifat mulia dan kebenaran yang bersifat
universal. Bahasa yang digunakan ragam lisan baku tanpa unsur kedaerahan,
menggunakan lafal yang benar, struktur kalimat sesuai dengan tata bahasa.
1)
Ragam
pidato ilmiah
Pidato ilmiah
terdiri atas beberapa jenis, antara lain: presentasi makalah, skripsi, tesis,
disertasi, dan pengukuhan guru besar. Penulisan ilmiah dilanjutkan dengan
presentasi ilmiah. Untuk memperoleh hasil yan optimal, presentasi ilmiah harus
memperhatikan etika ilmiah, ketentuan lembaga, kemampuan personal dan kemampuan
teknis, dan kemampuan keunggulan prilaku.
2)
Ragam
pidato resmi
Kata resmi
memiliki beberapa pengertian, yaitu: resmi karena situasinya, resmi karena
kemuliaan, resmi karena kekhidmatan situasi penyampaian dalam suatu upacara.
c.
Ragam
bahasa tulis
Ragam bahasa
tulis resmi ditandai oleh:
1)
Penggunaan
fungsi-fungsi gramatikal,
2)
Menggunakan
bentuk yang lengkap,
3)
Menggunakan
imbuhan yang eksplisit,
4)
Penggunaan
kata ganti yang baku,
5)
Penggunaan
pola frase yang baku,
6)
Menggunakan
ejaan yang baku.
d.
Ragam
bahasa sastra
Ragam sastra
adalah ragam yang mengutamakan unsur-unsur keindahan seni, penulis cenderung
menekankan gaya simbolik dengan memadukan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Ragam
ini sering juga digunakan dalam iklan produk komersial, terutama dalam upaya
menyentuh perasaan konsumen yang menekankan kesenangan, keindahan, kenyamanan,
dan lain-lain. Beda bahasa sastra dan iklan terletak pada tujuannya. Sastra
untuk menyenangkan pembaca, sedangkan iklan bersifat persuasif agar
pembaca/pendengar membeli produknya.
e.
Ragam
bahasa berita
Ragam bahasa berita lazim digunakan
dalam pemberitaan: media elektronik, media cetak, dan jurnal. Bahasa berita
menyajikan fakta secara utuh dan objektif. Untuk menjamin objektifitas berita,
penyaji tidak menambah atau mengurangi fakta yang disajikan.[12]
Abdul Chaer di dalam
buku Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa ragam bahasa
Indonesia yang ada antara lain:
1.
Ragam
bahasa yang bersifat perseorangan. Biasa
disebut denga idiolek. Setiap orang tentu mempunyai ragam “gaya bahasa
sendiri-sendiri yang sering tidak disadarinya.
2.
Ragam
bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari wilayah tertentu,
biasanya disebut dengan istilah dialek.
3.
Ragam
bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosial
tertentu, biasanya disebut sosiolek.
4.
Ragam
bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu, seperti kegiatan ilmiah, jurnalistik, dan lain-lain.
5.
Ragam
bahasa yang digunakan dalam situasi formal atau
situasi resmi, biasanya disebut dengan istilah ragam bahasa baku atau
bahasa standar.
6.
Ragam
bahasa yang digunakan dalam situasi informal atau
situasi tidak resmi, biasanya disebut dengan ragam non baku atau non
standar.
F.
Konsep Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Jika
bahasa itu sudah baku atau standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat
surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima
berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik
pengajaran bahasa kepada khalayak, maka dapat dengan lebih mudah dibuat
pembedaan antara bahasa yang benar dan yang tidak. Pemakaian bahasa yang
mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan
bahasa yang benar.
Jika orang masih membedakan pendapat
tentang benar tidaknya suatu bentuk bahasa, perbedaan paham itu menandakan
tidak atau belum adanya bentuk baku yang mantap. Jika dipandang dari sudut itu,
kita mungkin berhadapan dengan bahasa yang semua tatarannya sudah dibakukan;
atau yang sebagiannya sudah baku, sedangkan bagian yang lain masih dalam proses
pembakuan; ataupun yang semua bagiannya belum atau tidak akan dibakukan. Bahasa
Indonesia, agaknya termasuk golongan yang kedua. Kaidah ejaan dan pembentukan
istilah kita sudah distandarkan; kaidah pembentukan kata yang sudah tepat dapat
dianggap baku, tetapi pelaksanaan patokan itu dalam kehidupan sehari-hari belum
mantap.
Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi
menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa disebut dengan bahasa yang
baik dan tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu baku.
Dalam tawar menawar di pasar, misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan
kegelian, keheranan, atau kecurigaan.
Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang
baik, tetapi tidak benar. Frasa seperti ini hari merupakan bahasa yang
baik sampai tahun 80-an di kalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk
itu tidak merupakan bentuk yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini
terbalik. Karena itu, anjuran agar kita “berbahasa Indonesia dengan baik dan
benar” dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan
yang di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar. Ungkapan “bahasa
Indonesia yang baik dan benar” mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi
persyaratan kebaikan dan kebenaran.[14]
[1] Nursalim, AR, Pengantar
Kemampuan Berbahasa Indonesia (Pekanbaru:Infinite,2005), hal.2
[2] Alek, dkk, Bahasa
Indonesia untuk Perguruan Tinggi (Jakarta:Kencana,2011), hal.8-16
[3] Nursalim, AR, op.
Cit., hal.3-4
[4] Charlina,
Mangatur Sinaga, MKDU Bahasa Indonesia (Pekanbaru:Berhati
Publishing,2010), hal.1-2
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[8] Ibid.
[10] Abdul Chaer, Tata
Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Jakarta:Rineka Cipta,2007)
[11] Charlina, dkk, op.
Cit., hal.9
[12] Nursalim, A.R, op.
Cit., hal.6-9
[13] Abdul Chaer, op.
Cit., hal.3-4
[14] Hasan Alwi,
dkk, Tata Bahasa Baku Indonesia (Jakarta:Pusat Bahasa dan Balai
Pustaka,2003), hal.20-21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar