Minggu, 26 Januari 2014

Bahasa


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sejarah Bahasa Indonesia
Setelah VOC (Belanda) mengubah taktik hubungan perdagangannya ke dalam hubungan penjajahan, maka Belanda merasa perlu untuk menggunakan bahasa pengantar dalam penjajahan. Langkah pertama yang dilakukannya adalah menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar penjajahan. Namun, bangsa Indonesia banyak yang tidak mampu menggunakan bahasa Belanda tersebut, sehingga Belanda mencari alternatif lain yaitu mencari bahasa daerah setempat yang dapat dijadikan bahasa pengantar penjajahan. Bahasa pengantar dalam penjajahan sangat penting karena tanpa bahasa pengantar, penjajahan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Setelah diadakan penelitian oleh para ahli bahasa dari Belanda, maka dijadikanlah bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Hal ini disebabkan karena bahasa Melayu sudah menjadi bahasa perdagangan dan bahasa yang banyak dipahami oleh masyarakat setempat.
Sejak itu, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar penjajahan kedua yang bahasa pertamanya tentu saja bahasa Belanda. Oleh karena, bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar penjajahan, maka penggunaan bahasa Melayu semakin menyebar luas ke berbagai pelosok tanah air.[1]

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu termasuk rumpun bahasa Austronesia yang telah digunakan sebagai lingua franca di Nusantara sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Selain Melayu pasar terdapat pula istilah Melayu tinggi. Pada masa lalu bahasa Melayu tinggi digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Melayu pasar. Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi bahasa Melayu pasar sudah terlanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Penamaan istilah “bahasa Melayu” telah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Awal penamaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional Kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pasca-kemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1.      Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2.      Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa dan kasar yang digunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia akan menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3.      Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan : Pertama,suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, sebagai lingua franca, bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4.      Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia yaitu Malaysia, Brunei dan Singapura. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia yang telah dipilih ini kemudian distandarisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini telah dilakukan pada zaman penjajahan Jepang.
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, antara lain menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah digunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu adalah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit, berangka 683 M (Palembang); Talang Tuwo, berangka 684 M. (Palembang); Kota Kapur, berangka 686 M. (Bangka Barat); dan Karang Brahi, berangka 688 M. (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu kuno. Bahasa Melayu Kuno itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 942 M. yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuno.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Buddha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang ari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Buddha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-luen (I-Tsing, 63: 159), Kuo-luen (I-Tsing, 183), Koen-luen (Ferrand,1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971: 1089), Kun ‘lun (Parnikel, 1977: 91), Kun ‘lun (Prentice, 1078: 19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka 1380 M., maupun hasil susastra (ahad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dai berbagai bahasa terutama dari bahasa Sanskerta, Persia, Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara memengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar-perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Peristiwa-peristiwa penting berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia di antaranya:
1.      Pada 1901, disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuisjen dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2.      Pada 1908, pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3.      Pada 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan memancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa Indonesia.
4.      Pada 1933, secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan.
5.      Pada tarikh 25-28 Juni 1938, dilangsungkanlah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
6.      Pada 18 Agustus 1945, ditandatanganilah Undang-Undang Dasar RI 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
7.      Pada 19 Maret 1947, diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
8.      Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober-2 November 1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
9.      Pada 16 Agustus 1972, H.M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1912.
10.  Pada 31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
11.  Kongres Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober-2 November 1978 merupakan peristiwa penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yag ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
12.  Kongres Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 21-6 November 1983. Ia diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
13.  Kongres Bahasa Indonesia V diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 28 Oktober-3 November 1988. Ia dihadiri oleh kira-kira 700 pakar bahasa Indonesia dari seluruh Nusantara (sebutan bagi negara Indonesia) dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pecinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
14.  Kongres Bahasa Indonesia VI diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober-2 November 1993. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
15.  Kongres Bahasa Indonesia VII diselenggarakan di Hotel Indonesia, Jakarta pada 26-30 Oktober 1998. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang mempunyai kepedulian terhadap bahasa dan sastra.
b.      Tugasnya memberikan nasihat kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta mengupayakan peningkatan status kelembagaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
16.  Kongres Bahasa Indonesia VIII diselenggarakan di Jakarta pada 14-17 Oktober 2003.
17.  Kongres IX Bahasa Indonesia. Kongres ini akan membahas tiga persoalan utama: 1) bahasa Indonesia; 2) bahasa daerah; 3) penggunaan bahasa asing. Tempat kongres di Jakarta, pada 28 Oktober-1 November 2008 di Hotel Bumi Karsa, Kompleks Bidakara, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Secara umum, Kongres IX Bahasa Indonesia ini bertujuan meningkatkan peran bahasa dan sastra Indonesia dalam mewujudkan insan Indonesia cerdas kompetitif menuju Indonesia yang bermartabat, berkepribadian, dan berperadaban unggul.[2]

B.       Aspek Bahasa
       Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal yang bersifat arbiter, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu. Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap panca indra.
       Bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi vokal yang dihasilkan oleh alat manusia, dan arti atau makna yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau hal yang diwakilinya itu. Bunyi merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita, sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain.
       Arti yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbiter atau manasuka. Arbiter atau manasuka berarti tidak ada keharusan bahwa suatu rangkaian tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Makna sebuah kata tergantung dari konvensi masyarakat bahasa yang bersangkutan. Jadi, makna kata tergantung kepada masyarakat pemakainya.
       Dalam sejarah bahasa pernah diperdebatkan apakah ada hubungan yang wajar antara kata dengan bendanya. Satu kelompok mengatakan ada; untuk itu diusahakan bermacam-macam keterangan mengenai timbulnya kata-kata dalam bahasa. Etimologi merupakan hasil kerja dari kelompok ini. Namun, etimologi yang mula-mula timbul untuk mendukung pendapat ini terlalu dibuat-buat sehingga sulit diterima. Usaha lain yang mempertahankan pendapat ini adalah onomatope (kata peniru bunyi). Namun hal ini pun sangat terbatas. Terakhir dikemukakan bahwa tiap bunyi sebenarnya mengandung nilai-nilai tertentu, misalnya vokal a, u, o; menyatakan sesuatu yang besar, rendah, dan berat. Sebaliknya, vokal i dan e menyatakan sesuatu yang sangat tinggi, kecil, dan tajam. Dengan demikian, pendapat lain lebih dapat diterima bahwa antara kata dengan barangnya tidak terdapat suatu hubungan khusus. Hubungan itu bersifat arbirter, sesuai dengan konvensi masyarakat bahasa yang bersangkutan.[3]

C.      Hakikat Bahasa
1.      Oral
Yang dimaksud dengan oral adalah bunyi. Ciri bahwa bahasa adalah bunyi wajar mengingat kenyataan bahwa pengalaman berbahasa yang paling umum pada manusia adalah berbicara dan menyimak. Kehadiran bunyi bahasa lebih dahulu daripada kehadiran tulisan.
Tulisan atau sistem tulisan hanyalah mampu mewakili sebagian dari isyarat penting yang terdapat dalam ucapan. Bahkan sistem tulisan bisa mewakili bunyi yang berbeda, baik dalam bahasa yang sama maupun dalam bahasa yang berbeda. Ada kecenderungan orang yang menganggap bunyi dan tulisan sebagai unsur pembeda bahasa, sehingga dipahami ada bahasa lisan dan bahasa tulis. Akan tetapi jika perbedaan seperti itu diberlakukan, haruslah dipahami bahwa bahasa lisan itu bersifat primer dan bahasa tulis bersifat sekunder. Orang dapat berbahasa tanpa mengenal tulisannya.
2.      Sistematis
Kata sistem dapat diartikan sebagai cara atau aturan. Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Yang dimaksud dengan sitematis adalah bahwa bahasa itu tersusun menurut suatu pola: tidak tersusun secara acak dan sembarangan. Sistemis adalah bahasa itu merupakan sistem tunggal, tetapi juga terdiri dari sub-sistem; atau sistem bawahan.
Perhatikan contoh berikut:
            Kami sedang belajar bahasa Indonesia
Tidak dapat kita buat menjadi:
            Sedang belajar kami bahasa Indonesia
            Bahasa Indonesia sedang belajar kami.
            Kami bahasa Indonesia sedang belajar.
3.      Arbitrer
Kata “arbitrer” bisa diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka. Yang dimaksud dengan istilah arbiter adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal kerbau sebagai “sejenis binatang memamah biak yang biasa diternakkan, bentuknya seperti lembu tetapi besar, umumnya berbulu kelabu”. Dari definisi itu kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi “kerbau”. Mengapa tidak dinamakan “bauker” atau “bakeru”, atau lambang lainnya.[4]
4.      Konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaannya harus bersifat konvensional. Bahasa tersebut dikatakan konvensional sebagai sifat kesepakatan bersama. Hal yang perlu dipahami adalah kenyataan bahwa kesepakatan itu bukanlah formal yang dinyatakan melalui musyawarah, sidang rapat, atau kongres, atau rapat raksasa untuk menentukan lambang tertentu.[5]
5.      Unik dan Universal
Setiap bahasa memiliki ciri khasnya sendiri yang tidak terdapat pada bahasa lain. Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh bahasa yang lain. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem yang lainnya.[6]
Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya pada setiap bahasa terdapat unsur bunyi yang terpilah menjadi dua, yakni vokal dan konsonan. Bukti lain dari keuniversalan bahasa adalah bahwa setiap bahasa mempunyai satuan-satuan bahasa yang bermakna, entah satuan yang namanya kata, frausa, klausa, kalimat, dan wacana. Walau pembentukan satuan-satuan itu mungkin tidak sama, maka hal itu merupakan keunikan dari bahasa tersebut.
6.      Beragam
Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa adalah mereka yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Ragam bahasa bermacam-macam bergantung pada dasar klasifikasinya. Mengenai ragam bahasa ini, ada tiga istilah yang harus dipahami, yaitu idiolek, dialek, dan ragam.
Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang mempunyai ciri khas bahasanya masing-masing. Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Dialek dapat dibagi berdasarkan wilayah/daerah pemakaiannya dan dialek berdasarkan kelompok masyarakat pemakainya. Ragam ialah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam-ragam baku atau ragam standar, untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau nonstandar. Dari sarana yang digunakan dapat dibedakan adanya ragam lisan dan ragam tulis.
7.      Berkembang
Perkembangan bahasa yang sangat mencolok pada saat ini terdapat pada unsur leksikon. Kata-kata seperti sempadan, dampak, kiat dan senarai merupakan kata-kata yang menunjukkan perkembangan leksikon dalam bahasa Indonesia, walaupun di antara kata-kata itu dulu pernah ada pada bahasa Indonesia atau bahasa Melayu.
Dalam bahasa Indonesia, misalnya, dapat diyakini bahwa kata-kata analisis, metode, kenvensi, operasi, distribusi, konkret,dan lain-lain merupakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing (bahasa Inggris atau bahasa Belanda). Dalam perkembangannya, unsur-unsur yang merupakan wujud perkembangan itu tidak lagi disadari oleh penuturnya.[7]
8.      Produktif
Bahasa dikatakan bersifat produktif karena bahasa itu terus menerus menghasilkan. Artinya, meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas.[8]
9.      Dinamis
Bahasa merupakan fenomena sosial. Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Kita tidak dapat memisahkan bahasa dari kebudayaan, sebab hubungan antara keduanya sangat erat karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat tidak tetap dan selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, dan menjadi tidak statis. Inilah yang kita sebut bahasa itu dinamis, artinya selalu mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.
10.  Bersifat Insani
Bahasa dikatakan bersifat insani karena hanyalah manusia yang memiliki bahasa. Bahasa merupakan suatu aspek perilaku yang bisa dipelajari hanya oleh manusia. Walaupun binatang juga menggunakan bahasa, namun binatang tidak dapat menggunakan lambang-lambang bahasa untuk menyatakan pikirannya. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa bahasa dapat menumbuhkembangkan kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan menempatkan peradabannya jauh di atas berbagai bentuk kehidupan makhluk yang lebih rendah.


D.      Fungsi Bahasa
       Jika kita lihat dari fungsi bahasa, penganalisisan wacana berarti penganalisisan bahasa dalam pemakaiannya. Analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Dalam arti yang paling sederhana, kata fungsi dapat dipandang sebagai padanan kata penggunaan. Dengan demikian, jika kita berbicara tentang fungsi bahasa, dapat diartikan cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu.
       Ada beberapa pengelompokan fungsi kebahasaan yang sudah dikenal, misalnya pengelompokan yang diketengahkan oleh Malinowski, yang berkaitan dengan kajiannya tentang situasi dan makna. Malinowski mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, yaitu yang pragmatik dan yang magis.
       Sebagai seorang pakar antropologi, ia tertarik kepada penggunaan bahasa yang praktis atau pragmatik yang dibaginya lagi ke dalam penggunaan bahasa yang aktif dan bahasa yang naratif. Di pihak lain, ia juga tertarik pada penggunaan bahasa yang ritual atau magis yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan seremonial atau keagamaan dalam kebudayaan.
       Sedangkan seorang psikolog Austria, Karl Buhler membedakan fungsi bahasa kedalam:
1.      Bahasa ekspresif, yaitu bahasa yang terarah pada diri sendiri, si pembicara.
2.      Bahasa konatif, yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara.
3.      Bahasa representasional, yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya yaitu apa saja selain si pembicara atau lawan bicara.
Pendapat Buhler ini dikembangkan lagi oleh Roman Jakobson, yang menambahkan tiga fungsi lagi, yaitu:
1.      Fungsi poetik, yaitu terarah pada pesannya.
2.      Fungsi transaksional, yaitu terarah pada sasarannya.
3.      Fungsi metalinguistik, yaitu terarah pada kodenya atau lambangnya.
Halliday mengatakan bahwa secara makro, fungsi-fungsi bahasa dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Fungsi ideasional, untuk membentuk, mempertahankan, dan memperluas hubungan di antara anggota masyarakat.
2.      Fungsi interpersonal, untuk menyampaikan informasi di antara anggota masyarakat.
3.      Fungsi tekstual, untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus (wacana) yang relevan dengan situasi.
Menurut Halliday, fungsi ideasional berkaitan dengan peranan bahasa untuk pengungkapan isi, pengungkapan pengalaman penutur tentang dunia nyata, termasuk dunia dalam dari kesadarannya sendiri. Fungsi interpersonal, berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial, termasuk peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Dan fungsi tekstual dikatakan berkaitan dengan tugas-tugas bahasa untuk membentuk berbagai mata rantai kebahasaan dan mata rantai unsur situasi (features of the situation) yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya.
Setelah fungsi-fungsi yang telah disebutkan, ada lagi yang membagi fungsi bahasa atas lima bagian, yaitu personal, interpersonal, diraktif, referensial, dan imajinatif.
1.      Fungsi Personal, adalah kemampuan pembicaraannya, misalnya cinta, kesenangan, kekecewaan, kesusahan, kemarahan dan sebagainya.
2.      Fungsi Interpersonal, adalah kemampuan kita untuk membina dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan ini membuat hidup dengan orang lain lebih baik dan menyenangkan.
3.      Fungsi Direktif, memungkinkan kita untuk mengajukan permintaan, saran, membujuk, meyakinkan, dan sebagainya.
4.      Fungsi Referensial, adalah yang berhubungan dengan kemampuan menulis atau berbicara tentang lingkungan kita yang terdekat dan juga mengenai bahasa itu sendiri.
5.      Fungsi Imajinatif, adalah kemampuan untuk dapat menyusun irama, sajak, cerita tertulis maupun lisan. Fungsi ini sukar diajarkan, kecuali kalau siswanya memang berbakat untuk hal-hal semacam itu. [9]
  Sedangkan fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Untuk berkomunikasi sebenarnya dapat juga digunakan cara lain, misalnya isyarat, lambang-lambang gambar atau kode-kode tertentu lainnya. Tetapi dengan bahasa komunikasi dapat berlangsung lebih baik dan lebih sempurna.
Bahasa Indonesia sendiri, yang mempunyai kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara di tengah-tengah berbagai macam bahasa daerah, mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.      Alat untuk menjalankan administrasi negara. Ini berarti, segala kegiatan administrasi kenegaraan, seperti surat menyurat dinas, rapat-rapat dinas, pendidikan, dan sebagainya harus diselenggarakan dalam bahasa Indonesia.
2.      Alat pemersatu berbagai suku bangsa di Indonesia. Komunikasi di antara anggota suku bangsa yang berbeda kurang mungkin dilakukan dalam salah satu bahasa daerah dari anggota suku bangsa itu. Komunikasi lebih mungkin dilakukan dalam bahasa Indonesia. Karena komunikasi antarsuku ini dilakukan dalam bahasa Indonesia, maka akan terciptalah perasaan “satu bangsa” di antara anggota suku-suku bangsa itu.
3.      Media untuk menampung kebudayaan nasional. Kebudayaan daerah dapat ditampung dengan media bahasa daerah; tetapi kebudayaan nasional Indonesia dapat dan harus ditampung dengan media bahasa Indonesia.[10]

E.       Ragam Bahasa
Berbicara tentang ragam bahasa, setiap pembicara menggunakan suatu ragam bahasa. Ragam demikian disebut dialek. Ragam menurut pemakai ini bukan saja bertalian dengan tempat, tetapi juga ada yang bertalian dengan kemasyarakatan. Ragam bahasa seperti ini disebut dialek sosial.
1.      Ragam dari Sudut Pandang Bidang
Ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan berhubungan dengan profesi, kegemaran, dan pengalamannya. Bidang yang dimaksudkan itu, misalnya agama, politik, ilmu, teknologi, pertukangan, seni rupa, dan seni sastra, olahraga dan sebagainya.[11]
2.      Ragam Bahasa Menurut Media
Berdasarkan media yang digunakan, ragam bahasa terbagi du, yaitu ragam lisan dan ragam tulisan. Ragam bahasa lisan ditandai dengan penggunaan lafal atau pengucapan, intonasi, kosakata, penggunaan tatabahasa dalam pembentukan kata, dan penyusunan kalimat.
Ragam tulis ditandai dengan kecermatan menggunakan ejaan dan tanda baca. Kosakata, penggunaan tatabahasa dalam pembentukan kata, penyusunan kalimat, paragraf dan wacana.


3.      Ragam Bahasa Berdasarkan Waktu
Berdasarkan waktu terdapat ragam bahasa lama dan ragam bahasa baru. Ragam bahasa lama lazim digunakan dalam penulisan naskah-naskah lama (kuno). Ragam ini perlu dipahami oleh orang-orang yang ingin mengkaji peristiwa-peristiwa masa lalu. Misalnya bahasa-bahasa yang terdapat pada kodekologi (naskah kuno). Ragam bahasa baru ditandai dengan penggunaan kata-kata baru, ejaan yang disempurnakan mengekspresikan ilmu pengetahuan dan teknologi modern seperti internet, jaringan dan seluler.
4.      Ragam Bahasa Berdasarkan Pesan Komunikasi
Ragam berdasarkan pesan komunikasi ini terbagi berdasarkan pada sarana komunikasinya. Ragam-ragam tersebut adalah: ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa pidato, ragam bahasa tulis, ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa berita.
a)      Ragam bahasa ilmiah
Ragam bahasa ilmiah adalah sarana verbal yang efektif, efisien, baik, dan benar. Ragam ini lazim digunakan untuk mengkomunikasikan proses kegiatan dan hasil penalaran ilmiah.
Ciri ragam bahasa ilmiah adalah:
1)      Struktur kalimat jelas dan bermakna lugas,
2)      Struktur wacana bersifat formal, mengacu pada standar konvensi naskah,
3)      Singkat, berisi analisis dan pembuktian, menyajikan konsep secara lengkap,
4)      Cermat dalam menggunakan unsur baku dan istilah/kata, ejaan, bentuk kata, kalimat, paragraf, dan wacana,
5)      Cermat dan konsisten menggunakan penalaran dari penentuan topik, pendahuluan, deskripsi teori, deskripsi data, analisis data, hasil analisis, sampai pada simpulan dan saran,
6)      Menggunakan istilah khusus yang bersifat teknis dalam bidang ilmu tertentu,
7)      Objektif, dapat diukur keberadaannya secara terbuka oleh umum, menghindarkan bentuk pesona, dan ungkapan subjektif,
8)      Konsisten dalam pembahasan topik, pengendalian variabel, permasalahan, tujuan, penalaran, istilah, sudut pandang, pendahuluan, landasan teori, deskripsi data, analisis data, hasil penelitian, sampai pada simpulan dan saran.
Materi ragam bahasa ilmiah digunakan dalam kajian ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan penulisan upaya pencarian, penemuan, pengolahan, dokumentasi, analisis, atau publikasi dalam bentuk: proposal penelitian, reproduksi suatu konsep, pembuktian suatu kebenaran teori, temuan teori baru, pengembangan teori sehingga menghasilkan temuan teori baru atau konsep yang belum pernah ada.
b)      Ragam bahasa pidato
Ragam pidato dipengaruhi oleh tujuan, situasi, dan pendekatan isi pidato. pidato resmi menyajikan materi-materi yang bersifat mulia dan kebenaran yang bersifat universal. Bahasa yang digunakan ragam lisan baku tanpa unsur kedaerahan, menggunakan lafal yang benar, struktur kalimat sesuai dengan tata bahasa.
1)      Ragam pidato ilmiah
Pidato ilmiah terdiri atas beberapa jenis, antara lain: presentasi makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan pengukuhan guru besar. Penulisan ilmiah dilanjutkan dengan presentasi ilmiah. Untuk memperoleh hasil yan optimal, presentasi ilmiah harus memperhatikan etika ilmiah, ketentuan lembaga, kemampuan personal dan kemampuan teknis, dan kemampuan keunggulan prilaku.
2)      Ragam pidato resmi
Kata resmi memiliki beberapa pengertian, yaitu: resmi karena situasinya, resmi karena kemuliaan, resmi karena kekhidmatan situasi penyampaian dalam suatu upacara.
c.       Ragam bahasa tulis
Ragam bahasa tulis resmi ditandai oleh:
1)      Penggunaan fungsi-fungsi gramatikal,
2)      Menggunakan bentuk yang lengkap,
3)      Menggunakan imbuhan yang eksplisit,
4)      Penggunaan kata ganti yang baku,
5)      Penggunaan pola frase yang baku,
6)      Menggunakan ejaan yang baku.
d.      Ragam bahasa sastra
Ragam sastra adalah ragam yang mengutamakan unsur-unsur keindahan seni, penulis cenderung menekankan gaya simbolik dengan memadukan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Ragam ini sering juga digunakan dalam iklan produk komersial, terutama dalam upaya menyentuh perasaan konsumen yang menekankan kesenangan, keindahan, kenyamanan, dan lain-lain. Beda bahasa sastra dan iklan terletak pada tujuannya. Sastra untuk menyenangkan pembaca, sedangkan iklan bersifat persuasif agar pembaca/pendengar membeli produknya.
e.       Ragam bahasa berita
Ragam bahasa berita lazim digunakan dalam pemberitaan: media elektronik, media cetak, dan jurnal. Bahasa berita menyajikan fakta secara utuh dan objektif. Untuk menjamin objektifitas berita, penyaji tidak menambah atau mengurangi fakta yang disajikan.[12]
       Abdul Chaer di dalam buku Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa ragam bahasa Indonesia yang ada antara lain:
1.      Ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Biasa disebut denga idiolek. Setiap orang tentu mempunyai ragam “gaya bahasa sendiri-sendiri yang sering tidak disadarinya.
2.      Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari wilayah tertentu, biasanya disebut dengan istilah dialek.
3.      Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosial tertentu, biasanya disebut sosiolek.
4.      Ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu, seperti kegiatan ilmiah, jurnalistik, dan lain-lain.
5.      Ragam bahasa yang digunakan dalam situasi formal atau situasi resmi, biasanya disebut dengan istilah ragam bahasa baku atau bahasa standar.
6.      Ragam bahasa yang digunakan dalam situasi informal atau situasi tidak resmi, biasanya disebut dengan ragam non baku atau non standar.
7.      Ragam bahasa yang digunakan secara lisan yang biasa disebut bahasa lisan.[13]

F.       Konsep Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
       Jika bahasa itu sudah baku atau standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak, maka dapat dengan lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa yang benar dan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar.
       Jika orang masih membedakan pendapat tentang benar tidaknya suatu bentuk bahasa, perbedaan paham itu menandakan tidak atau belum adanya bentuk baku yang mantap. Jika dipandang dari sudut itu, kita mungkin berhadapan dengan bahasa yang semua tatarannya sudah dibakukan; atau yang sebagiannya sudah baku, sedangkan bagian yang lain masih dalam proses pembakuan; ataupun yang semua bagiannya belum atau tidak akan dibakukan. Bahasa Indonesia, agaknya termasuk golongan yang kedua. Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita sudah distandarkan; kaidah pembentukan kata yang sudah tepat dapat dianggap baku, tetapi pelaksanaan patokan itu dalam kehidupan sehari-hari belum mantap.
       Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa disebut dengan bahasa yang baik dan tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu baku. Dalam tawar menawar di pasar, misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan.
       Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik, tetapi tidak benar. Frasa seperti ini hari merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an di kalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupakan bentuk yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik. Karena itu, anjuran agar kita “berbahasa Indonesia dengan baik dan benar” dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar. Ungkapan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.[14]
      



[1] Nursalim, AR, Pengantar Kemampuan Berbahasa Indonesia (Pekanbaru:Infinite,2005), hal.2
[2] Alek, dkk, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi (Jakarta:Kencana,2011), hal.8-16
[3] Nursalim, AR, op. Cit., hal.3-4
[4] Charlina, Mangatur Sinaga, MKDU Bahasa Indonesia (Pekanbaru:Berhati Publishing,2010), hal.1-2
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hal.2-3
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 4-5
[10] Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Jakarta:Rineka Cipta,2007)
[11] Charlina, dkk, op. Cit., hal.9
[12] Nursalim, A.R, op. Cit., hal.6-9
[13] Abdul Chaer, op. Cit., hal.3-4
[14] Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Indonesia (Jakarta:Pusat Bahasa dan Balai Pustaka,2003), hal.20-21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar