Jumat, 07 Maret 2014

Tafsir dan Takwil Al-Qur'an


A.           Pengertian Tafsir
          Secara bahasa, kata tafsir berasal dari fassara yang semakna dengan awdhaha dan bayyana, -dimana tafsir sebagai mashdar dari fassara- sebagaimana dengan idhah dan tabyin. Kata-kata tersebut dapat diterjemahkan kepada “menjelaskan” atau “menyatakan”. Al-Jarjani memaknai kata tafsir itu dengan al-kasyf wa al-izhar (membuka dan menjelaskan atau menampakkan). Istilah tafsir dalam makna membuka digunakan baik membuka secara konkret (al-hiss) maupun abstrak yang bersifat rasional. Al-Qur’an menggunakan istilah tafsir dalam makna penjelasan, seperti yang terdapat dalam Surah Al-Furqan (25) ayat 23
“tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”


          Kata fassara merupakan tsulasi mazid bi harf (kata dasarnya tiga kemudian mendapat tambahan satu huruf, yaitu tasydid atau huruf yang sejenis ‘ain fi’il-nya). Penambahan ini berkonsekuensi terhadap perubahan makna, yaitu taktsir(banyak). Maka dengan demikian secara harfiah, tafsir dapat diartikan kepada “banyak memberikan penjelasan”. Maka menafsirkan Al-Qur’an berarti memberikan banyak komentar terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan pengertian atau makna yang dapat dijangkau oleh seorang mufassir.[1]
          Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an atau kitab suci lain sehingga lebih jelas maksudnya”. Terjemahan dari ayat-ayat Al-Qur’an masuk dalam kelompok ini. Jadi, tafsir Al-Qur’an ialah penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, menafsirkan Al-Qur’an ialah menjelaskan dan menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.[2]
          Sedangkan menurut istilah, beberapa ahli mendefinisikan tafsir sebagai:
1.             Al-Kilby dalam At-Tas-hil berkata:
التفسير شرح القرآن وبيان معناه والأفصاح بما يقتضيه بنصّه أو اشارته أو نجواه.
“Tafsir adalah mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nash-nya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwah-nya”.
2.             Az-Zarkasy dalam Al-Burhan berkata:
التفسير بيان معانى القرآن واستخراج احكامه وحكمه.
“Tafsir adalah menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.
3.             Thahir Al-Jazairi berkata:
التفسير في الحقيقة انّما هو شرح اللفظ المستقلق عند السامع بما هو أفصح عنده بما يرادفه أو يقاربه أو له دلالة غليه بإحدى طرق الدلالات.
“Tafsir pada hakikatnya ialah mensyarahkan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya atau yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui sesuatu dalalah (petunjuk)”.
4.             A-Jurjany berkata:
التفسير فى الأصل الكشف والإظهار. وفى الشرع توضيح معنى الاية. شأنها وقصتها والسبب الذي نزّلت فيه بلفظ يدلّ عليه دلالة ظاهرة.
“Tafsir pada asalnya ialah membuka dan melahirkan. Dalam istilah syar’i ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab diturunkannya ayat dengan lafadz yang menunjuk kepadanya secara terang”.
Kata tafsir diambil dari kata tafsirah yang berarti perkakas yang digunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang yang sakit.[3]
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka tafsir secara umum dapat diartikan kepada penjelasan atau keterangan yang dikemukakan oleh manusia mengenai makna ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya menangkap maksud Allah yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.
Menurut As-Sibagh, tafsir ialah :
هو علم يفهم به كتاب الله وذلك ببيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه
“suatu ilmu yang berguna untuk memahami kitab Allah, yaitu menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[4]
 Definisi ini terlihat sedikit berbeda dengan definisi di atas. Dalam definisi As-Sibagh, tafsir digambarkan sebagai suatu alat yang digunakan untuk memahami Al-Qur’an. Ia bukan apa yang dipahami dari Al-Qur’an, tetapi suatu ilmu yang digunakan untuk memahaminya. Hal serupa juga dikemukakan oleh Az-Zarkasyi, yaitu “tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, menjelaskan maknanya dan mengeluarkan hukum serta hikmahnya. Menurut Khalid Abdurrahman, hal ini bukan tafsir, tetapi ushul at-tafsir (dasar-dasar tafsir).
Definisi diatas menggambarkan, bahwa tafsir mempunyai dua arti, yaitu tafsir sebagai ilmu alat untuk menjelaskan makna Al-Qur’an dan tafsir sebagai hasil pemahaman terhadap Al-Qur’an berdasarkan ilmu alat.[5]
Menafsirkan Al-Qur’an berarti menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Dan karena Al-Qur’an itu merupakan pesan-pesan ilahi (risalah ilahiyyah) yang datang dari Allah, maka berarti seorang mufassir berusaha dengan kemampuan yang dimilikinya menangkap makna atau pengertian yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat tersebut. Dengan demikian, seorang mufassir berarti menemui makna bukan mengadakan makna. Maka itulah sebabnya, tafsir yang semata-mata bi arra’yi-yang tidak mempunyai tambatan dengan nash dan bahasa serta syarat lainnya-tidak dapat diterima. Sebab tafsir birra’yi dalam makna ini berarti mufassir mengadakan makna dan bukan menemukan makna. Padahal ia akan menisbahkan penafsirannya itu kepada yang dimaksudkan Allah, atau Al-Qur’an mengatakan demikian.[6]


B.                 Pengertian Ta’wil
Kata ta’wil merupakan mashdar dari awwala, yu’awwilu, ta’wil. Secara bahasa, ia berarti ruju’ (kembali) kepada asal. Al-Jarjani mengartikan ta’wil itu kepada tarji’ (mengembalikan). Selain makna ini, at-ta’wil juga berarti penjelasan. Dalam arti yang terakhir ini, misalnya terdapat firman Allah
 
“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan Kami membawa yang hak”[7]
            Analisis di atas menggambarkan bahwa istilah tafsir dan takwil secara harfiah mempunyai makna yang sama, yaitu penjelasan. Maka menafsirkan atau menakwilkan Al-Qur’an berarti menjelaskan makna yang terkandung dalam lafal dan ayat-ayatnya.
            Takwil menurut istilah berarti “memalingkan suatu lafal dari makna lahir kepada makna yang tidak zahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan Al-Kitab dan sunnah”. Takwil menurut ulama mutaakhkhirin adalah memalingkan makna suatu lafal dari yang rajih kepada yang marjuh karena ada dalil yang menunjukkan perlunya makna itu dipalingkan. Berdasarkan definisi ini, dapat ditegaskan bahwa menjelaskan makna ayat Al-Qur’an yang didasarkan makna zahir atau makna rajih tidak disebut dengan takwil, sebab tidak terjadi padanya pemalingan makna.
            Menurut ulama salaf, takwil itu mempunyai dua arti; pertama menafsirkan suatu ungkapan dan menjelaskan maknanya, baik sesuai dengan makna zahir atau tidak. Maka takwil dalam artian ini semakna dengan tafsir, ia merupakan dua istilah yang muradif (sama). Dan makna kedua adalah sesuatu yang dikehendaki oleh suatu ungkapan, jika ungkapan itu perintah melakukan sesuatu, maka takwilnya adalah perbuatan itu sendiri. Dan jika ungkapan itu dalam bentuk berita, maka takwilnya adalah berita yang disampaikan itu.[8]
           

C.           Perbedaan Tafsir dan Takwil
Term “tafsir” dan “takwil” merupakan dua istilah yang populer sejak permulaan Islam sampai sekarang. Namun istilah takwil pernah menimbulkan polemik yang tajam di kalangan ulama, khususnya generasi mutaakhkhirin (ulama yang lahir setelah periode salaf, mulai sekitar permulaan abad ke-4 Hijriyah). Salah satu penyebabnya ialah berbeda pemahaman dan persepsi antara generasi salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in[9]) dan generasi yang datang kemudian (mutaakhkhirin) tentang konotasi istilah tersebut. Para ulama salaf atau mutaqaddimin cenderung memahami istilah itu sama dengan “tafsir”. Dengan demikian, takwil menurut mereka adalah sinonim bagi tafsir. Artinya, tafsir adalah takwil dan takwil adalah tafsir. Pengertian itulah yang mereka pahami dari do’a Nabi saw bagi Ibnu Abbas : [10]اللهم فقّهه فى الدين وعلّمه التأويل (Ya Allah, anugerahilah ia (Ibn ‘Abbas) pemahaman yang benar tentang ajaran agama dan ajarilah ia takwil (tafsir)”. Pengertian serupa itu lazim digunakan dalam kitab tafsir di abad klasik (salaf) seperti dijumpai dalam tafsir al-Thabari: اختلف أهل التأويل فى معنى الأية (para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat itu) dan القول فى تأويل قوله كذا (pendapat dalam penakwilan (penafsiran) firman Allah SWT begini...).
Pengertian seperti yang digambarkan itulah, menurut Ibnu Taymiyah yang dimaksud Mujahid[11], bahwa ulama dapat mengetahui takwil Al-Qur’an. Pendapat Mujahid ini oleh ulama muta’akhkhirin dijadikan rujukan untuk membolehkan takwil Al-Qur’an sesuai dengan keinginan mereka seperti yang dilakukan oleh kaum Rafidhah. Mereka mentakwilkan يدا أبى لهب dengan Abu Bakar dan Umar, بقرة  dengan Aisyah, dan sebagainya. Disinilah timbul persoalan karena takwil yang dimaksud oleh Mujahid itu diselewengkan oleh ulama yang datang kemudian, lalu mereka mengklaim, Mujahid membolehkan takwil Al-Qur’an sesuai dengan penegasan Tuhan dalam ayat 7 dari Surat Ali Imran yang artinya: “Tiada yang dapat mengetahui takwil Al-Qur’an kecuali Allah dan orang-orang yang berpengetahuan luas (ulama)...
Dari uraian tersebut jelas terlihat perbedaan yang nyata antara tafsir dan takwil. Pada masa salaf kedua istilah itu mempunyai satu konotasi: penjelasan atau keterangan bagi ayat-ayat Al-Qur’an; tapi kemudian konotasi istilah takwil mereka pakaikan pada “memalingkan pengertian suatu lafal dari makna yang rajih (jelas) kepada makna yang marjuh (kurang jelas) karena ada dalil”. Dalam definisi itu tampak dengan jelas bahwa para ulama muta’akhkhirin lebih banyak memberikan peranan bagi akal dibanding dengan para ulama salaf sebab kata memalingkan  (sharf) yang digunakan dalam definisi itu, tiada lain kecuali dengan menggunakan akal pikiran. Dari sinilah berkembangnya tafsir birra’yi (penafsiran melalui pikiran). Berangkat dari pemikiran serupa itulah, ulama membedakan kedua istilah tersebut dengan mengatakan: “Tafsir melalui riwayat dan takwil melalui dirayah (pemikiran)”.
Jadi, tafsir dan takwil merupakan dua istilah yang populer dalam kajian ilmu tafsir. Namun, setelah periode salaf, term “tafsir” cenderung dipahami dalam pengertian menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan riwayat, tapi tidak mengabaikan pemikiran; sementara takwil menjelaskannya melalui pemikiran dan argumen rasional, namun tidak mengenyampingkan riwayat. Takwil serupa inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan tafsir birra’yi. Tafsir ini terbagi ke dalam dua kategori: 1) dapat diterima: tafsir yang tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan hadits serta didukung oleh argumen yang dapat dipertanggungjawabkan; dan 2) ditolak, dan bahkan dicela oleh sebagian besar ulama, yaitu tafsir yang berdasarkan pemikiran semata seperti tafsiran kaum Rafidhah yang telah diungkapkan di muka.[12]

D.           Sumber Tafsir
          Sebagaimana yang tergambar dalam salah satu definisi di atas, bahwa tafsir adalah hasil pemahaman manusia terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahaman tersebut tentu tidaklah muncul dan dibuat secara sembarangan; ia mesti mempunyai dasar dan sumber. Inilah yang penulis maksud dengan sumber tafsir (mashdar at-tafsir).
          Dalam memahami Al-Qur’an terdapat dua sumber utama, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri (tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Tafsir Al-Qur’an bi Al-Hadits). Selain itu, keterangan para sahabat dan tabi’in mengenai makna suatu ayat juga dapat dijadikan sumber dalam menafsirkan Al-Qur’an. Penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir bi ar-riwayah, yaitu tafsir yang didasarkan atas riwayat.
          Riwayat bukan satu-satunya sumber tafsir, ia juga bersumberkan dari pendapat mufassir itu sendiri berdasarkan pemahaman kebahasaannya dan ilmu pengetahuan lainnya. Inilah yang disebut tafsir bi ad-dirayah. Bahkan tafsir juga kadang-kadang didasarkan atas makna yang dapat ditangkap oleh mufassir di balik makna zahir suatu ayat berdasarkan apa yang terlintas dalam jiwanya sebagai anugerah Allah karena ketekunannya beribadah. Penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir isy’ari.

1.             Menafsirkan ayat dengan ayat.
Makna suatu lafal yang belum jelas, yang terdapat dalam suatu ayat, kadang-kadang dijelaskan oleh ayat yang lain, baik ayat sesudahnya secara berurutan maupun ayat lain yang terdapat dalam surah yang sama atau surah yang berbeda. Hal ini, misalnya dapat dilihat dalam surah Al-Baqarah ayat 2, yang ditutup dengan lafal al-muttaqiin (orang-orang yang bertakwa); dalam ayat 2 tersebut tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan al-muttaqin itu. maka ayat 3-5 menjelaskan maksudnya, selain itu pengertian al-muttaqin juga dijelaskan oleh Surah Ali Imran ayat 134-135.[13]
Adz-Dzahabi membagi tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ini kepada beberapa bentuk, yaitu:
a.       Menjelaskan suatu ungkapan yang ringkas dengan keterangan lebih luas yang dijelaskan dalam ayat lain.
b.      Menyamakan suatu ungkapan mujmal yang terdapat dalam suatu ayat dengan mubayyan yang terdapat dalam ayat lain.
c.       Menyamakan ayat yang masih muthlaq dengan ayat lain yang muqayyad.
d.      Mengkompromikan (al-jam’u) ayat-ayat yang diduga berbeda antara satu dengan yang lain.
e.       Menggunakan suatu qiraat untuk menjelaskan makna ungkapan dalam qiraat lain.
f.       Men-takhsish-kan ayat yang umum (al-‘am) baik tahkhsish muttashil maupun munfashil. Seperti penafsiran pemberian syafa’at kelak pada hari kiamat secara umum dalam Surah Al-Baqarah ayat 253. Keumuman ayat itu di-takhsish-kan oleh Surat An-Najm ayat 26, sehingga Surat Al-Baqarah ayat 253 dapat dipahami bahwa syafa’at (bantuan) pada kiamat tidak akan ada kecuali atas izin Allah.
2.             Menafsirkan Ayat dengan Hadis
Menafsirkan Al-Qur’an dengan hadits Nabi adalah menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan keterangan Nabi, baik secara langsung maupun tidak. Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan risalah Allah kepada manusia; menyampaikan wahyu-Nya dan menjelaskan makna, hikmah, serta ajaran yang terkandung di dalam wahyu tersebut. Dalam Surah An-Nahl ayat 44 ditegaskan:
 
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Jadi, Nabi Muhammad adalah sebagai mu’allim Al-Qur’an dan sumber tafsir. Dia lebih tahu maksud dan isi kandungan Al-Qur’an, karena Allah telah mengajarkan kepadanya. Karena Nabi mendapatkan pengajaran dari Allah, maka beliaulah yang lebih tahu tentang Al-Qur’an. Dan penafsiran Al-Qur’an yang didasarkan atas keterangan darinya merupakan penafsiran yang tidak diragukan lagi kebenarannya.[14]
Ada beberapa bentuk penafsiran Al-Qur’an dengan hadits, yaitu sebagai berikut.
a.       Hadits menjelaskan ungkapan Al-Qur’an yang masih mujmal, seperti menafsirkan perintah shalat dalam Al-Qur’an, dimana Al-Qur’an tidak menjelaskan secara detail tentang waktu shalat, jumlah raka’at, dan cara mengerjakannya. Akan tetapi, sunnah menjelaskan hal ini.
b.      Hadits menjelaskan hal-hal yang sulit (musykil).
c.       Men-takhsish-kan lafal yang masih umum.
d.      Hadits meng-qaid-kan ungkapan yang masih muthlaq.
e.       Hadits menjelaskan naskh.
f.       Hadits menguatkan penjelasan Al-Qur’an.[15]
3.             Menafsirkan Al-Qur’an dengan Perkataan Sahabat
Terdapat empat hal yang selalu dijadikan oleh para sahabat sebagai rujukan dalam ijtihad mereka menafsirkan Al-Qur’an. Keempat hal tersebut adalah;
a.         Pengetahuan mereka tentang bahasa Arab.
b.        Pengetahuan mereka mengenai adat kebiasaan orang Arab.
c.         Pengetahuan mereka tentang keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab, waktu turunnya Al-Qur’an.
d.        Kemampuan pemahaman mereka yang cukup luas.
Empat hal ini cukup membantu mereka dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Hasil ijtihad para sahabat itu memperlihatkan perbedaan-perbedaan. Para mufassir boleh menjadikan hasil ijtihad mereka ini sebagai sumber dan berpegang kepadanya sesuai dengan yang diyakini oleh mufassir itu sendiri. Diantara tokoh tafsir di kalangan sahabat itu adalah khulafa’u ar-rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan pola di atas, yaitu menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, atau berdasarkan hadis, atau perkataan sahabat dan tabi’in disebut dengan tafsir bi ar-riwayah.
4.             Ra’yu
Ra’yu artinya pendapat, yaitu pendapat mufassir mengenai makna suatu ayat, yang tidak didasarkan atas penjelasan ayat, hadits, perkataan sahabat dan tabi’in. Ia merupakan hasil ijtihad seorang mufassir. Maka tafsir bi ar-ra’yi berarti tafsir berdasarkan ijtihad mufassir, pendapat atau ijtihadnya yang didasarkan atas sarana ijtihad.
Para mufassir membagi tafsir bi ar-ra’yi kepada dua macam, yaitu ra’yi madhmumah (yang tercela) dan ra’yi mahmudah (yang terpuji). Yang pertama adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat semata-mata yang tidak didukung oleh ilmu alat. Dan yang terakhir adalah pendapat yang didasarkan atas ilmu dan memenuhi kriteria atau syarat tafsir, yaitu penguasaan ilmu bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharaf, isytiqaq, dan balaghah. Selain itu, seorang mufassir juga dituntut menguasai ilmu qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, qasas Al-Qur’an, naskh wa mansukh, dan lain sebagainya.
5.             Isy’ari
Kata isy’ari berasal dari asy’ara; secara harfiah, ia berarti menunjukkan, mengarahkan, atau memberi tanda. Jika dikaitkan dengan tafsir, yaitu tafsir isy’ari, maka ia berarti maksud atau makna yang ditunjukkan oleh suatu ayat yang dapat ditangkap oleh seorang sufi berdasarkan arahan perasaan kesufiannya. Dia menjelaskan atau menakwilkan makna ayat itu berdasarkan kesufian tersebut. Makna dan maksud ayat yang dikemukakan itu berbeda dari makna zahir, bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan makna zahir. Ia tidak dapat dikaji secara ilmiah, sebab makna dan pemahaman tersebut merupakan pemberian (mawahib) langsung dari Allah sebagai hasil dari ketekunannya beribadah dan menjauhi larangan. Maka tafsir isy’ari disebut juga dengan tafsir shufi yaitu tasawuf praktis bukan teoretis.[16]
Untuk keabsahan dan diterimanya tafsir shufi ini, syarat-syarat berikut mesti dipenuhi, yaitu:
a.       Tidak menafikan makna zahir ayat.
b.      Ada syar’i yang dapat menguatkan penafsiran itu.
c.       Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau rasio.
d.      Tidak boleh mengklaim, bahwa penafsiran itulah satu-satunya yang dikehendaki, bukan yang lain.
Khalid Abdurrahman menegaskan, apabila kriteria ini telah terdapat dalam suatu tafsir isyari, maka ia dapat diterima. Dan sebaliknya, apabila hal itu tidak dipenuhi, maka penafsiran itu ditolak.[17]
Tafsir isyari dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu pertama isyarat tersembunyi yang dapat ditangkap seseorang yang bertakwa, shaleh, dan berilmu ketika membaca Al-Qur’an. Hal ini seperti penafsiran atau penakwilan yang dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap surat An-Nashr (110); menurutnya, surah tersebut menjelaskan bahwa ajal Rasulullah sudah dekat. Dan kedua isyarat jelas yang terkandung dala ayat-ayat kauniyyah, dimana ia mengarah kepada penemuan ilmu pengetahuan modern.[18]



[1] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an (Jakarta:Amzah,2010),hal.126-127.
[2] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2011),hal.66-67.
[3] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang:Pustaka Rizki Putra,2009), hal.153-154.
[4] Muhammad bin Luthfi As-Sibagh, Lamhat fi ‘Ulum Al-Qur’an wa Ittijaahaat At-Tafsir (Beirut:Al-Kutub Al-Islami, tt), hal.187.
[5] Kadar M.Yusuf, loc. Cit., hal.127-128
[6] Ibid.
[7] QS. Al-A’raf ayat 53.
[8] Ibid., hal.128-130.
[9] Sahabat: setiap muslim yang bertemu dengan Nabi; tabi’in: setiap muslim yang bertemu dengan salah seorang sahabat Nabi; dan tabi’ tabi’in: hanya bertemu dengan tabi’in.
[10] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘ulumil Qur’an (Mansyurat Al-‘Ashr al-Hadits, 1973), hal.327.
[11] Keahlian Mujahid dalam tafsir tidak diragukan lagi, setidaknya menurut Sufyan Ats-Tsauri: “Sudah cukup bila kamu telah memperoleh tafsir dari Mujahid”.
[12] Nashruddin Baidan, loc. Cit., hal 67-69.
[13] Kadar M.Yusuf, loc. Cit., hal.134-135
[14] Ibid., hal.136-137
[15] Ibid., hal. 138-139
[16] Ibid., hal.140-142
[17] Ibid
[18] Ibid., hal. 143

Tidak ada komentar:

Posting Komentar