A.
Pengertian Tafsir
Secara
bahasa, kata tafsir berasal dari fassara yang semakna dengan awdhaha
dan bayyana, -dimana tafsir sebagai mashdar dari fassara-
sebagaimana dengan idhah dan tabyin. Kata-kata tersebut dapat
diterjemahkan kepada “menjelaskan” atau “menyatakan”. Al-Jarjani memaknai kata tafsir
itu dengan al-kasyf wa al-izhar (membuka dan menjelaskan atau
menampakkan). Istilah tafsir dalam makna membuka digunakan baik membuka secara
konkret (al-hiss) maupun abstrak yang bersifat rasional. Al-Qur’an
menggunakan istilah tafsir dalam makna penjelasan, seperti yang terdapat dalam
Surah Al-Furqan (25) ayat 23
“tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”
Kata fassara merupakan
tsulasi mazid bi harf (kata dasarnya tiga kemudian mendapat tambahan
satu huruf, yaitu tasydid atau huruf yang sejenis ‘ain fi’il-nya).
Penambahan ini berkonsekuensi terhadap perubahan makna, yaitu taktsir(banyak).
Maka dengan demikian secara harfiah, tafsir dapat diartikan kepada
“banyak memberikan penjelasan”. Maka menafsirkan Al-Qur’an berarti memberikan
banyak komentar terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan pengertian atau
makna yang dapat dijangkau oleh seorang mufassir.[1]
Dalam kamus Bahasa
Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan
tentang ayat-ayat Al-Qur’an atau kitab suci lain sehingga lebih jelas maksudnya”.
Terjemahan dari ayat-ayat Al-Qur’an masuk dalam kelompok ini. Jadi, tafsir
Al-Qur’an ialah penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar
memahaminya dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, menafsirkan Al-Qur’an
ialah menjelaskan dan menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari
ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.[2]
Sedangkan menurut
istilah, beberapa ahli mendefinisikan tafsir sebagai:
1.
Al-Kilby dalam At-Tas-hil berkata:
التفسير شرح القرآن وبيان معناه والأفصاح بما
يقتضيه بنصّه أو اشارته أو نجواه.
“Tafsir adalah
mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan nash-nya atau dengan isyaratnya ataupun dengan
najwah-nya”.
2.
Az-Zarkasy dalam Al-Burhan berkata:
التفسير بيان معانى القرآن واستخراج احكامه
وحكمه.
“Tafsir adalah
menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan
hikmah-hikmahnya”.
3.
Thahir Al-Jazairi berkata:
التفسير في الحقيقة انّما هو شرح اللفظ المستقلق
عند السامع بما هو أفصح عنده بما يرادفه أو يقاربه أو له دلالة غليه بإحدى طرق
الدلالات.
“Tafsir pada hakikatnya
ialah mensyarahkan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang
menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya
atau yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui sesuatu
dalalah (petunjuk)”.
4.
A-Jurjany berkata:
التفسير فى الأصل الكشف والإظهار. وفى الشرع
توضيح معنى الاية. شأنها وقصتها والسبب الذي نزّلت فيه بلفظ يدلّ عليه دلالة ظاهرة.
“Tafsir
pada asalnya ialah membuka dan melahirkan. Dalam istilah syar’i ialah
menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab diturunkannya ayat dengan
lafadz yang menunjuk kepadanya secara terang”.
Kata tafsir diambil dari kata tafsirah yang
berarti perkakas yang digunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang yang
sakit.[3]
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka tafsir
secara umum dapat diartikan kepada penjelasan atau keterangan yang dikemukakan
oleh manusia mengenai makna ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya
menangkap maksud Allah yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.
Menurut As-Sibagh, tafsir ialah :
هو علم يفهم به كتاب
الله وذلك ببيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه
“suatu
ilmu yang berguna untuk memahami kitab Allah, yaitu menjelaskan maknanya,
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.”[4]
Definisi ini terlihat sedikit berbeda dengan
definisi di atas. Dalam definisi As-Sibagh, tafsir digambarkan sebagai suatu
alat yang digunakan untuk memahami Al-Qur’an. Ia bukan apa yang dipahami dari
Al-Qur’an, tetapi suatu ilmu yang digunakan untuk memahaminya. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Az-Zarkasyi, yaitu “tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan
untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw,
menjelaskan maknanya dan mengeluarkan hukum serta hikmahnya. Menurut Khalid
Abdurrahman, hal ini bukan tafsir, tetapi ushul
at-tafsir (dasar-dasar tafsir).
Definisi diatas menggambarkan,
bahwa tafsir mempunyai dua arti, yaitu tafsir sebagai ilmu alat untuk
menjelaskan makna Al-Qur’an dan tafsir sebagai hasil pemahaman terhadap
Al-Qur’an berdasarkan ilmu alat.[5]
Menafsirkan Al-Qur’an berarti
menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Dan karena Al-Qur’an itu merupakan
pesan-pesan ilahi (risalah ilahiyyah)
yang datang dari Allah, maka berarti seorang mufassir berusaha dengan kemampuan
yang dimilikinya menangkap makna atau pengertian yang dimaksudkan Allah dalam
ayat-ayat tersebut. Dengan demikian, seorang mufassir berarti menemui makna
bukan mengadakan makna. Maka itulah sebabnya, tafsir yang semata-mata bi
arra’yi-yang tidak mempunyai tambatan dengan nash dan
bahasa serta syarat lainnya-tidak dapat diterima. Sebab tafsir birra’yi
dalam makna ini berarti mufassir mengadakan makna dan bukan menemukan makna.
Padahal ia akan menisbahkan penafsirannya itu kepada yang dimaksudkan Allah,
atau Al-Qur’an mengatakan demikian.[6]
B.
Pengertian
Ta’wil
Kata
ta’wil merupakan mashdar
dari awwala, yu’awwilu, ta’wil.
Secara bahasa, ia berarti ruju’
(kembali) kepada asal. Al-Jarjani mengartikan ta’wil
itu kepada tarji’
(mengembalikan). Selain makna ini, at-ta’wil
juga berarti penjelasan. Dalam arti yang terakhir ini, misalnya terdapat firman
Allah
“Tiadalah
mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. pada
hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang
melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan
Kami membawa yang hak”[7]
Analisis di atas menggambarkan bahwa
istilah tafsir dan takwil secara harfiah mempunyai makna yang sama, yaitu
penjelasan. Maka menafsirkan atau menakwilkan Al-Qur’an berarti menjelaskan
makna yang terkandung dalam lafal dan ayat-ayatnya.
Takwil menurut istilah berarti
“memalingkan suatu lafal dari makna lahir kepada makna yang tidak zahir yang
juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan
Al-Kitab dan sunnah”. Takwil menurut ulama mutaakhkhirin adalah memalingkan
makna suatu lafal dari yang rajih kepada yang marjuh karena ada
dalil yang menunjukkan perlunya makna itu dipalingkan. Berdasarkan definisi
ini, dapat ditegaskan bahwa menjelaskan makna ayat Al-Qur’an yang didasarkan
makna zahir atau makna rajih tidak disebut dengan takwil, sebab
tidak terjadi padanya pemalingan makna.
Menurut ulama salaf, takwil itu
mempunyai dua arti; pertama menafsirkan suatu ungkapan dan menjelaskan
maknanya, baik sesuai dengan makna zahir atau tidak. Maka takwil dalam
artian ini semakna dengan tafsir, ia merupakan dua istilah yang muradif
(sama). Dan makna kedua adalah sesuatu yang dikehendaki oleh suatu ungkapan,
jika ungkapan itu perintah melakukan sesuatu, maka takwilnya adalah perbuatan
itu sendiri. Dan jika ungkapan itu dalam bentuk berita, maka takwilnya adalah
berita yang disampaikan itu.[8]
C.
Perbedaan Tafsir dan Takwil
Term “tafsir” dan “takwil” merupakan dua istilah yang populer sejak
permulaan Islam sampai sekarang. Namun istilah takwil pernah menimbulkan
polemik yang tajam di kalangan ulama, khususnya generasi mutaakhkhirin
(ulama yang lahir setelah periode salaf, mulai sekitar permulaan abad ke-4
Hijriyah). Salah satu penyebabnya ialah berbeda pemahaman dan persepsi antara
generasi salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in[9])
dan generasi yang datang kemudian (mutaakhkhirin) tentang konotasi
istilah tersebut. Para ulama salaf atau mutaqaddimin cenderung memahami
istilah itu sama dengan “tafsir”. Dengan demikian, takwil menurut mereka
adalah sinonim bagi tafsir. Artinya, tafsir adalah takwil dan takwil adalah
tafsir. Pengertian itulah yang mereka pahami dari do’a Nabi saw bagi Ibnu Abbas
: [10]اللهم فقّهه فى الدين وعلّمه التأويل (Ya
Allah, anugerahilah ia (Ibn ‘Abbas) pemahaman yang benar tentang ajaran agama
dan ajarilah ia takwil (tafsir)”. Pengertian serupa itu lazim digunakan dalam
kitab tafsir di abad klasik (salaf) seperti dijumpai dalam tafsir al-Thabari: اختلف أهل التأويل فى معنى الأية (para
ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat itu) dan القول فى تأويل قوله كذا (pendapat
dalam penakwilan (penafsiran) firman Allah SWT begini...).
Pengertian seperti yang digambarkan itulah, menurut Ibnu Taymiyah
yang dimaksud Mujahid[11],
bahwa ulama dapat mengetahui takwil Al-Qur’an. Pendapat Mujahid ini oleh ulama muta’akhkhirin
dijadikan rujukan untuk membolehkan takwil Al-Qur’an sesuai dengan keinginan
mereka seperti yang dilakukan oleh kaum Rafidhah. Mereka mentakwilkan يدا أبى لهب dengan
Abu Bakar dan Umar, بقرة dengan Aisyah, dan
sebagainya. Disinilah timbul persoalan karena takwil yang dimaksud oleh Mujahid
itu diselewengkan oleh ulama yang datang kemudian, lalu mereka mengklaim,
Mujahid membolehkan takwil Al-Qur’an sesuai dengan penegasan Tuhan dalam ayat 7
dari Surat Ali Imran yang artinya: “Tiada yang dapat mengetahui takwil
Al-Qur’an kecuali Allah dan orang-orang yang berpengetahuan luas (ulama)...
Dari uraian tersebut jelas terlihat perbedaan yang nyata antara
tafsir dan takwil. Pada masa salaf kedua istilah itu mempunyai satu konotasi:
penjelasan atau keterangan bagi ayat-ayat Al-Qur’an; tapi kemudian konotasi
istilah takwil mereka pakaikan pada “memalingkan pengertian suatu lafal dari
makna yang rajih (jelas) kepada makna yang marjuh (kurang jelas) karena ada
dalil”. Dalam definisi itu tampak dengan jelas bahwa para ulama muta’akhkhirin
lebih banyak memberikan peranan bagi akal dibanding dengan para ulama salaf
sebab kata memalingkan (sharf)
yang digunakan dalam definisi itu, tiada lain kecuali dengan menggunakan akal
pikiran. Dari sinilah berkembangnya tafsir birra’yi (penafsiran melalui
pikiran). Berangkat dari pemikiran serupa itulah, ulama membedakan kedua
istilah tersebut dengan mengatakan: “Tafsir melalui riwayat dan takwil
melalui dirayah (pemikiran)”.
Jadi, tafsir dan takwil merupakan dua istilah yang populer dalam
kajian ilmu tafsir. Namun, setelah periode salaf, term “tafsir” cenderung
dipahami dalam pengertian menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan riwayat,
tapi tidak mengabaikan pemikiran; sementara takwil menjelaskannya melalui
pemikiran dan argumen rasional, namun tidak mengenyampingkan riwayat. Takwil
serupa inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan tafsir birra’yi. Tafsir ini
terbagi ke dalam dua kategori: 1) dapat diterima: tafsir yang tidak menyimpang
dari Al-Qur’an dan hadits serta didukung oleh argumen yang dapat
dipertanggungjawabkan; dan 2) ditolak, dan bahkan dicela oleh sebagian besar
ulama, yaitu tafsir yang berdasarkan pemikiran semata seperti tafsiran kaum
Rafidhah yang telah diungkapkan di muka.[12]
D.
Sumber Tafsir
Sebagaimana yang tergambar dalam
salah satu definisi di atas, bahwa tafsir adalah hasil pemahaman manusia
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahaman tersebut tentu tidaklah muncul dan
dibuat secara sembarangan; ia mesti mempunyai dasar dan sumber. Inilah yang
penulis maksud dengan sumber tafsir (mashdar
at-tafsir).
Dalam
memahami Al-Qur’an terdapat dua sumber utama, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an itu
sendiri (tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (Tafsir
Al-Qur’an bi Al-Hadits). Selain itu, keterangan para sahabat dan tabi’in
mengenai makna suatu ayat juga dapat dijadikan sumber dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir bi
ar-riwayah, yaitu tafsir yang didasarkan atas riwayat.
Riwayat
bukan satu-satunya sumber tafsir, ia juga bersumberkan dari pendapat mufassir
itu sendiri berdasarkan pemahaman kebahasaannya dan ilmu pengetahuan lainnya.
Inilah yang disebut tafsir bi ad-dirayah. Bahkan
tafsir juga kadang-kadang didasarkan atas makna yang dapat ditangkap oleh
mufassir di balik makna zahir suatu ayat berdasarkan apa yang terlintas dalam
jiwanya sebagai anugerah Allah karena ketekunannya beribadah. Penafsiran
seperti ini disebut dengan tafsir isy’ari.
1.
Menafsirkan
ayat dengan ayat.
Makna
suatu lafal yang belum jelas, yang terdapat dalam suatu ayat, kadang-kadang
dijelaskan oleh ayat yang lain, baik ayat sesudahnya secara berurutan maupun
ayat lain yang terdapat dalam surah yang sama atau surah yang berbeda. Hal ini,
misalnya dapat dilihat dalam surah Al-Baqarah ayat 2, yang ditutup dengan lafal
al-muttaqiin (orang-orang yang bertakwa); dalam ayat 2 tersebut
tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan al-muttaqin itu. maka
ayat 3-5 menjelaskan maksudnya, selain itu pengertian al-muttaqin
juga dijelaskan oleh Surah Ali Imran ayat 134-135.[13]
Adz-Dzahabi
membagi tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ini kepada beberapa bentuk, yaitu:
a. Menjelaskan suatu ungkapan yang ringkas dengan
keterangan lebih luas yang dijelaskan dalam ayat lain.
b. Menyamakan suatu ungkapan mujmal yang
terdapat dalam suatu ayat dengan mubayyan yang
terdapat dalam ayat lain.
c. Menyamakan ayat yang masih muthlaq dengan
ayat lain yang muqayyad.
d. Mengkompromikan (al-jam’u)
ayat-ayat yang diduga berbeda antara satu dengan yang lain.
e. Menggunakan suatu qiraat untuk menjelaskan makna
ungkapan dalam qiraat lain.
f. Men-takhsish-kan ayat
yang umum (al-‘am) baik tahkhsish muttashil maupun munfashil. Seperti
penafsiran pemberian syafa’at kelak pada hari kiamat secara umum dalam Surah
Al-Baqarah ayat 253. Keumuman ayat itu di-takhsish-kan oleh
Surat An-Najm ayat 26, sehingga Surat Al-Baqarah ayat 253 dapat dipahami bahwa
syafa’at (bantuan) pada kiamat tidak akan ada kecuali atas izin Allah.
2.
Menafsirkan
Ayat dengan Hadis
Menafsirkan
Al-Qur’an dengan hadits Nabi adalah menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan
keterangan Nabi, baik secara langsung maupun tidak. Nabi Muhammad diutus untuk
menyampaikan risalah Allah kepada manusia; menyampaikan wahyu-Nya dan
menjelaskan makna, hikmah, serta ajaran yang terkandung di dalam wahyu
tersebut. Dalam Surah An-Nahl ayat 44 ditegaskan:
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”.
Jadi, Nabi Muhammad adalah sebagai mu’allim
Al-Qur’an dan sumber tafsir. Dia lebih tahu maksud dan isi kandungan
Al-Qur’an, karena Allah telah mengajarkan kepadanya. Karena Nabi mendapatkan
pengajaran dari Allah, maka beliaulah yang lebih tahu tentang Al-Qur’an. Dan
penafsiran Al-Qur’an yang didasarkan atas keterangan darinya merupakan
penafsiran yang tidak diragukan lagi kebenarannya.[14]
Ada beberapa bentuk penafsiran
Al-Qur’an dengan hadits, yaitu sebagai berikut.
a.
Hadits menjelaskan ungkapan Al-Qur’an yang masih mujmal,
seperti menafsirkan perintah shalat dalam Al-Qur’an, dimana Al-Qur’an tidak
menjelaskan secara detail tentang waktu shalat, jumlah raka’at, dan cara
mengerjakannya. Akan tetapi, sunnah menjelaskan hal ini.
b. Hadits
menjelaskan hal-hal yang sulit (musykil).
c. Men-takhsish-kan
lafal yang masih umum.
d. Hadits
meng-qaid-kan ungkapan yang masih muthlaq.
e. Hadits
menjelaskan naskh.
f. Hadits
menguatkan penjelasan Al-Qur’an.[15]
3.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan
Perkataan Sahabat
Terdapat
empat hal yang selalu dijadikan oleh para sahabat sebagai rujukan dalam ijtihad
mereka menafsirkan Al-Qur’an. Keempat hal tersebut adalah;
a.
Pengetahuan mereka tentang bahasa Arab.
b.
Pengetahuan mereka mengenai adat kebiasaan orang Arab.
c.
Pengetahuan mereka tentang keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani
di Jazirah Arab, waktu turunnya Al-Qur’an.
d.
Kemampuan pemahaman mereka yang cukup luas.
Empat hal ini cukup membantu mereka
dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Hasil ijtihad para sahabat itu
memperlihatkan perbedaan-perbedaan. Para mufassir boleh menjadikan hasil
ijtihad mereka ini sebagai sumber dan berpegang kepadanya sesuai dengan yang
diyakini oleh mufassir itu sendiri. Diantara tokoh tafsir di kalangan sahabat
itu adalah khulafa’u ar-rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Ubay bin
Ka’ab.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan pola di
atas, yaitu menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, atau berdasarkan hadis,
atau perkataan sahabat dan tabi’in disebut dengan tafsir bi ar-riwayah.
4.
Ra’yu
Ra’yu
artinya
pendapat, yaitu pendapat mufassir mengenai makna suatu ayat, yang tidak
didasarkan atas penjelasan ayat, hadits, perkataan sahabat dan tabi’in. Ia
merupakan hasil ijtihad seorang mufassir. Maka tafsir bi ar-ra’yi berarti
tafsir berdasarkan ijtihad mufassir, pendapat atau ijtihadnya yang didasarkan
atas sarana ijtihad.
Para
mufassir membagi tafsir bi ar-ra’yi kepada dua macam, yaitu ra’yi
madhmumah (yang tercela) dan ra’yi mahmudah (yang terpuji). Yang
pertama adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat semata-mata yang tidak
didukung oleh ilmu alat. Dan yang terakhir adalah pendapat yang didasarkan atas
ilmu dan memenuhi kriteria atau syarat tafsir, yaitu penguasaan ilmu bahasa
Arab yang meliputi nahwu, sharaf, isytiqaq, dan balaghah. Selain itu,
seorang mufassir juga dituntut menguasai ilmu qira’at, ushuluddin, ushul fiqh,
asbabun nuzul, qasas Al-Qur’an, naskh wa mansukh, dan lain sebagainya.
5.
Isy’ari
Kata
isy’ari berasal dari asy’ara; secara harfiah, ia berarti menunjukkan,
mengarahkan, atau memberi tanda. Jika dikaitkan dengan tafsir, yaitu tafsir isy’ari, maka ia berarti maksud atau makna yang ditunjukkan oleh suatu ayat
yang dapat ditangkap oleh seorang sufi berdasarkan arahan perasaan kesufiannya.
Dia menjelaskan atau menakwilkan makna ayat itu berdasarkan kesufian tersebut.
Makna dan maksud ayat yang dikemukakan itu berbeda dari makna zahir, bahkan
tidak ada sangkut pautnya dengan makna zahir. Ia tidak dapat dikaji secara
ilmiah, sebab makna dan pemahaman tersebut merupakan pemberian (mawahib) langsung dari Allah sebagai hasil dari ketekunannya beribadah dan
menjauhi larangan. Maka tafsir
isy’ari disebut juga dengan tafsir shufi yaitu tasawuf praktis bukan teoretis.[16]
Untuk keabsahan dan diterimanya tafsir shufi
ini, syarat-syarat berikut mesti dipenuhi, yaitu:
a.
Tidak menafikan makna zahir ayat.
b.
Ada syar’i yang dapat menguatkan
penafsiran itu.
c.
Penafsiran itu tidak bertentangan dengan
dalil syara’ atau rasio.
d.
Tidak boleh mengklaim, bahwa penafsiran
itulah satu-satunya yang dikehendaki, bukan yang lain.
Khalid
Abdurrahman menegaskan, apabila kriteria ini telah terdapat dalam suatu tafsir
isyari, maka ia dapat diterima. Dan sebaliknya, apabila hal
itu tidak dipenuhi, maka penafsiran itu ditolak.[17]
Tafsir
isyari dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu
pertama isyarat tersembunyi yang dapat ditangkap seseorang yang bertakwa,
shaleh, dan berilmu ketika membaca Al-Qur’an. Hal ini seperti penafsiran atau
penakwilan yang dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap surat An-Nashr (110);
menurutnya, surah tersebut menjelaskan bahwa ajal Rasulullah sudah dekat. Dan
kedua isyarat jelas yang terkandung dala ayat-ayat kauniyyah, dimana
ia mengarah kepada penemuan ilmu pengetahuan modern.[18]
[1] Kadar M.
Yusuf, Studi Al-Qur’an (Jakarta:Amzah,2010),hal.126-127.
[2]
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2011),hal.66-67.
[3]
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir (Semarang:Pustaka Rizki Putra,2009), hal.153-154.
[4] Muhammad
bin Luthfi As-Sibagh, Lamhat fi ‘Ulum Al-Qur’an wa Ittijaahaat At-Tafsir
(Beirut:Al-Kutub Al-Islami, tt), hal.187.
[5] Kadar
M.Yusuf, loc. Cit., hal.127-128
[6] Ibid.
[7] QS.
Al-A’raf ayat 53.
[8] Ibid.,
hal.128-130.
[9]
Sahabat: setiap muslim yang bertemu dengan Nabi; tabi’in: setiap muslim yang
bertemu dengan salah seorang sahabat Nabi; dan tabi’ tabi’in: hanya bertemu
dengan tabi’in.
[10] Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi ‘ulumil Qur’an (Mansyurat Al-‘Ashr al-Hadits,
1973), hal.327.
[11]
Keahlian Mujahid dalam tafsir tidak diragukan lagi, setidaknya menurut Sufyan
Ats-Tsauri: “Sudah cukup bila kamu telah memperoleh tafsir dari Mujahid”.
[12]
Nashruddin Baidan, loc. Cit., hal 67-69.
[13] Kadar
M.Yusuf, loc. Cit., hal.134-135
[14] Ibid.,
hal.136-137
[15] Ibid.,
hal. 138-139
[16] Ibid.,
hal.140-142
[17] Ibid
[18] Ibid.,
hal. 143
Tidak ada komentar:
Posting Komentar