A.
Pengertian
Fi’il Shahih dan Mu’tal
Dipandang dari segi jenis hurufnya, fi’il
terbagi menjadi shahih dan mu’tal.
1. Fi’il Shahih
وهو ما كانت حروفه الاصول صحيحة وليست بحروف علة.
Yaitu
fi’il yang huruf aslinya shahih dan bukan huruf ‘ilat.
Contoh : كتب، قرأ
2. Fi’il Mu’tal
وهو ما فى حروفه الاصول شيء من حروف العلة.
Yaitu
fi’il yang huruf aslinya salah satu dari huruf ‘ilat.
·
Alif adalah
huruf ilat dan huruf lain ( لين )
·
Seluruh huruf
mad adalah huruf lain, dan tidak semua huruf lain adalah huruf mad.
·
Jika huruf
ilat berharkat dhammad, fathah atau kasroh, maka tidak dinamakan huruf ‘ilat
dan huruf lain.[2]
Jika
ketiga huruf tersebut terjadi sebagai huruf tambahan pada fi’il, maka tidak
dapat dikatakan sebagai fi’il mu’tal. Seperti اعشوشب،
قاتل.[3]
B.
Pembagian Fi’il Shahih
Fi’il shahih terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Fi’il Salim
وهو ما كان احد حروفه الاصول من الهمز والتضعيف.
Yaitu
fi’il yang pada huruf asalnya tidak terdapat hamzah dan tadh’if.
Contoh
: ذهب، فرح
2. Fi’il Mahmuz
وهو ما كان احد حروفه الاصول همزة.
Yaitu fi’il yang salah
satu huruf aslinya adalah hamzah.
Contoh : أخذ، سأل، قرأ[4]
3. Fi’il Mudha’af
وهو ما كان احد احرفه الاصلية مكرّرا لغير زيادة.
Yaitu fi’il yang salah
satu huruf aslinya berulang-ulang bukan sebagai tambahan.
Fi’il ini terbagi
menjadi 2, yaitu :
a. Mudha’af Tsulatsi
Contoh : مدّ، مرّ
b.Mudha’af Ruba’i
Contoh : زلزل، دمدم
Jika huruf yang berulang-ulang itu
adalah huruf tambahan (zaidah), seperti عظّم، شذّب، اشتدّ، اعشوشب maka
tidak digolongkan sebagai fi’il mudha’af.[5]
C.
Pembagian Fi’il Mu’tal
Fi’il mu’tal terbagi menjadi:
1. Mitsal ( Mu’tal Fa )
وهو ما كانت فاؤه حرف علة.
Yaitu fi’il yang fa fi’ilnya
adalah huruf ilat.
Contoh : وعد، يسر
2. Ajwaf ( Mu’tal ‘Ain )
وهو ما كانت عينه حرف علة.
Yaitu fi’il yang ‘ain fi’ilnya
adalah huruf ilat.
Contoh : قال، باع
3. Naqish ( Mu’tal Lam )
وهو ما كانت لامه حرف علة.
Yaitu fi’il yang lam fi’ilnya
adalah huruf ilat.
Contoh : غزا، رمى
4. Lafif
وهو ما كان فيه حرفا علة.
Yaitu fi’il yang
didalamnya terdapat 2 huruf ilat.[6]
Lafif terbagi menjadi
dua :
a. Lafif Maqrun, yaitu fi’il yang
didalamnya terdapat dua buah huruf ilat yang beriringan, contoh : طوى، نوى
b.Lafif Mafruq, yaitu fi’il yang didalamnya terdapat dua buah huruf ilat
yang berpisah, contoh : وفى، وقى[7]
5. Mu’tal Fa dan ‘Ain
Yaitu fi’il yang fa dan ‘ain fi’ilnya
adalah huruf ilat. Seperti : يين (isim makan), يوم (isim zaman), ويل (isim makan). Dan didalam bahasa Arab tidak
ditemukan fi’il dalam pembagian ini.
6. Mu’tal Majmu’
Yaitu mu’tal fa, ‘ain dan lam. Dimana
terdapat huruf ‘ilat terjadi pada fa, ‘ain dan lam fi’ilnya. Contohnya :
واو :
asalnya adalah ووو, diganti ‘ain fi’ilnya menjadi
alif karena dibencinya berkumpul 2 buah
huruf ‘ilat yang berharkat didalam satu kata.
ياء : asalnya adalah ييي, diganti ‘ain fi’ilnya menjadi
alif sebagaimana contoh diatas, lalu diganti ya terakhir menjadi hamzah karena
ringan.
D.
Hukum-hukum Pembagian
Fi’il Shahih dan Mu’tal
Masing-masing pembagian fi’il shahih dan
mu’tal diatas mempunyai hukum-hukum tertentu, yaitu :
1.
Hukum Fi’il Shahih
a. Hukum fi’il salim
ü Tidak dihazafkan apapun ketika dihubungi dhamir atau ta taknis.
ü Tidak dihazafkan apapun ketika mentashrifkannya sampai musytaqnya.
ü Huruf akhirnya tetap apabila dihubungi oleh dhamir rafa’ yang berharkat,
seperti : كتبت،
نصرناكم
ü Difathahkan huruf akhirnya beserta alif itsnaini, didhammahkan akhirnya
beserta waw jama’, dan dikasrahkan beserta ya mukhatabah. Masing-masing untuk
menyesuaikan, seperti : نصرا، نصروا، تنصرين
b.Hukum mahmuz
ü Hukum mahmuz jika dihubungi oleh dhamir sama dengan hukum fi’il salim.
ü Dihazafkan hamzah pada fi’il amarnya untuk takhfif (meringankan). Contoh
: خذ، كل
ü Dihazafkan hamzah dari fi’il mudhari’ dan amar setelah memindahkan
harakatnya kepada fa fi’il, contoh : يرى
ü Dihazafkan hamzah yang terjadi sebagai ‘ain fi’il dan yang asalnya
adalah ارأى pada fi'il madhi, mudhari’, amar dan musytaqnya.
Contoh : ارى، ترى
c. Hukum mudha’af
1.
Fi’il Madhi
ü Wajib mengidghamkan apabila dihubungi dhamir rafa’
yang sakin. Seperti: مدّا، مدّوا. Begitu juga bila dihubungi
oleh ta taknis, seperti : امتدّت
ü Wajib menghilangkan idgham apabila dihubungi oleh
dhamir rafa’ yang berharkat. Seperti : مددتَ، مددنا، مددن
ü Apabila ‘ain fi’ilnya dikasrahkan dan disandarkan kepada dhamir yang
berharkat, boleh pada fi’il tersebut 3 bentuk, yaitu :
Ø Disesuaikan dengan kaidah yang terdahulu, yaitu
menghilangkan idgham, contoh : ظللت
Ø Menghazafkan ‘ain fi’ilnya dengan tetap fathah fa fi’il pada keadaannya,
contoh : ظلت (lughat Bani Amir)
Ø Dihazafkan ‘ain fi’ilnya dan dipindahkan kasrahnya kepada fa fi’il.
Contoh : ظلت (lughat sebagian penduduk Hijaz)
2.
Fi’il
Mudhari’
ü Wajib mengidghamkan apabila disandarkan kepada dhamir
rafa’ yang sakin. Contoh : يمدّان
ü Wajib menghilangkan idgham apabila disandarkan kepada dhamir rafa’ yang
berharkat. Contoh : يمددن
ü Boleh mengidghamkan dan
menghilangkannya apabila fi’il itu majzum dan disandarkan kepada isim zhahir
atau dhamir mustatir. Contoh : لم يمدَّ، لم يمدد.
3.
Fi’il Amar
ü Wajib idgham apabila fi’ilnya disandarkan kepada dhamir yang sakin.
Contoh : مدّا،
مدّوا، مدّي
ü Wajib menghilangkan idgham apabila disandarkan kepada dhamir yang
berharkat, contoh : امددن
ü Boleh mengidghamkan dan menghilangkan idghamnya apabila disandarkan
kepada dhamir mustatir. Contoh : مدّ، امدد، خفّ، اخفف
2.
Hukum Fi’il Mu’tal
a. Hukum Mitsal
1. Fi’il Madhi
Hukum fi’il madhi
mitsal seperti hukum fi’il salim.
2. Fi’il Mudhari’ dan Amar
ü Hukum mitsal ya-i pada fi’il mudhari’ dan amar seperti hukum fi’il
salim.
ü Hukum mitsal wawi pada fi’il mudhari’ dan amar adalah wajib menghazafkan
waw dengan dua syarat, yaitu : fi’il madhinya adalah tsulatsi mujarrad dan ‘ain
fi’il mudhari’nya kasroh. Seperti : وعد يعد، وثق يثق
b. Hukum Fi’il Ajwaf
1. Wajib menghazafkan ‘ain fi’ilnya apabila fi’il madhinya disandarkan
kepada dhamir rafa’ yang berharkat karena bertemu dua yang sakin. Contoh : قلت، بعنا، قمن
2. Wajib mengkasrohkan fa fi’ilnya jika sewazan dengan فَعِلَ
apabila disandarkan kepada dhamir rafa' yang berharkat. Contoh : خفت
3. Wajib mendhammahkan fa fi’il yang wawi jika sewazan dengan فَعَلَ. Contoh : صُمْت، طبت
4. Wajib mengkasrohkan fa fi’il yang ya-i jika sewazan dengan فَعَلَ. Contoh : بعت، طبت
5. Wajib mendhammahkan fa fi’ilnya jika sewazan dengan فَعُلَ. Contoh : طلت
6. Wajib mengganti huruf ilat dari fi’il wazan انفعل dan افتعلmenjadi alif karena
harkatnya dan difathahkan huruf sebelumnya. Contoh : انقاد
ينقاد، اختار يختار
7. Wajib memindahkan harkat huruf ilat kepada huruf sebelumnya pada fi’il
mudhari’ tsulatsi ( seperti نصر، ضرب ). Contoh : يَقْوُلُ menjadi يَقُوْلُ
8. Wajib memindahkan harkat huruf ilat kepada huruf sebelumnya dan
menggantinya menjadi alif pada fi’il mudhari’ tsulatsi seperti علم يعلم dan mudhari yang wawi seperti افعل dan استفعل. Contoh : يَخْوَفُ (dengan sukun “kha”
dan fathah “waw”) maka diubah menjadi يَخوفُ (dengan fathah “kha”
dan sukun “waw”), lalu waw ditukar menjadi alif karena fathah huruf sebelum
waw.
9. Menghazafkan ‘ain fi’il mudhari’nya apabila
disandarkan kepada dhamir yang berharkat. Ini adalah salah satu fi’il yang
wajib dii’lal. Contoh : يقلن و يرعن
c. Hukum fi’il naqish
1. Hukum naqish yang kosong dari dhamir
a.
Apabila fi’il naqish
itu madhi tsulatsi mujarrad,‘ain fi’ilnya dhammah dan la fi’ilnya adalah waw,
maka hukumnya tetap seperti keadaan awalnya. Contohnya : سَرُوَ
b.
Apabila fi’il
naqish itu madhi tsulatsi mujarrad, ‘ain fi’ilnya dhammah dan lam fi’ilnya
adalah ya, maka ya itu diganti menjadi waw karena terletak setelah dhammah.
Contoh : نَهُوَ
c.
Apabila fi’il
naqish itu madhi tsulatsi mujarrad, ‘ain fi’ilnya kasroh dan lam fi’ilnya
adalah ya, maka tetap seperti keadaan awalnya. Contoh : بَقِيَ
d.
Apabila fi’il
naqish itu madhi tsulatsi mujarrad, ‘ain fi’ilnya kasroh dan lam fi’ilnya
adalah waw, maka waw diganti menjadi ya karena terletak setelah kasroh. Contoh : رَضِيَ
e.
Apabila fi’il
naqish itu tsulatsi mujarrad dan ‘ain fi’ilnya fathah, maka lam fi’ilnya
diganti menjadi alif baik asalnya waw maupun ya karena harkat keduanya dan
fathah huruf sebelumnya. Contoh : سَمَا و رَمَى
f.
Apabila fi’il
naqish itu madhi ghairu tsulatsi, lam fi’ilnya diganti menjadi alif karena
asalnya harkat huruf sebelumnya adalah fathah. Contoh : نَادَى اهْتَدَى
g.
Apabila fi’il
naqish itu mudhari’ tsulatsi yang wawi dan harkat huruf sebelum akhir adalah
dhammah, maka lam fi’ilnya menjadi waw. Contoh : يَسْرُو و يَدْعُو
h.
Apabila fi’il
naqish itu mudhari’ tsulatsi yang ya-i atau ruba’I dan harkat huruf sebelum
akhirnya adalah kasroh, maka lam fi’ilnya menjadi ya. Contoh : يَرْمِى و يُعْطِي
i.
Apabila fi’il
naqish itu mudhari’ tsulatsi dari bab فَتَحَdan عَلِمَ atau khumasi yang diawali oleh ta zaidah dan harkat
huruf sebelum akhirnya adalah fathah, maka lam fi’ilnya menjadi fa. Contoh : يَرْضَى و يَتَزَكَّى
2. Hukum naqish yang disandarkan kepada dhamir
a.
Apabila fi’il madhinya
disandarkan kepada dhamir yang berharkat dan lam fi’ilnya waw atau ya, maka
hukumnya tetap seperti awalnya. Contoh : سَرُوْتُ
و رَضِيْتُ
b.
Apabila fi’il madhinya
disandarkan kepada dhamir yang berharkat dan lam fi’ilnya adalah alif, maka
dikembalikan kepada asalnya. Contoh : دَعَوْتَ رَمَيْتُ
c.
Apabila fi’il madhinya
disandarkan kepada dhamir yang berharkat dan fi’il tersebut bukan tsulatsi dan
lam fi’ilnya adalah alif, maka lam fi’ilnya diganti menjadi ya. Contoh : أَعْطَيْتَ و
اسْتَدْعَيْتِ
d.
Apabila fi’il madhinya
dihubungi oleh ta taknis dan lam fi’ilnya adalah waw atau ya, maka lam fi’ilnya
difathahkan. Contoh : سَرُوَتْ و رَضِيَتْ
e.
Apabila fi’il madhinya
dihubungi oleh ta taknis dan lam fi’ilnya adalah alif, maka lam fi’ilnya
dihazafkan karena bertemu dua yang sakin. Contoh : وَعتْ و رَمَتْ و بَنَتْ
f.
Apabila fi’il madhinya
disandarkan kepada alif itsnaini dan lam fi’ilnya adalah waw atau ya, maka
keadaannya tetap. Contoh : : سَرُوَا و
رَضِيَا
g.
Apabila fi’il madhinya
disandarkan kepada alif itsnaini dan lam fi’ilnya adalah alif, maka
dikembalikan kepada asalnya. Contoh : دَعَوَا و
بَقْيَا
h.
Apabila fi’il madhinya yang ghairu tsulatsi disandarkan kepada alif
itsnaini dan lam fi’ilnya adalah alif, maka diganti menjadi ya. Contoh : نَادَيَا
و اسْتَدْعَيَا
i.
Apabila fi’il madhinya
disandarkan kepada waw jamak, maka dihazafkan lam fi’ilnya dan difathahkan
huruf sebelum akhirnya jika hurufnya adalah alif. Dan didhammahkan jika
hurufnya adalah waw dan ya. Contoh : دَعُوا
j.
Apabila fi’il
mudhari’nya disandarkan kepada nun niswah dan lam fi’ilnya adalah waw atau ya,
maka keadaannya tetap. Contoh : يَدْعُون
k.
Apabila fi’il
mudhari’nya disandarkan kepada nun niswah dan lam fi’ilnya adalah alif, maka
diganti menjadi ya. Contoh :
يَرْضِيْنَ
l.
Hukum menyandarkannya
kepada alif itsnaini seperti hukum menyandarkannya kepada nun niswah. Contoh : يَدْعُوَان و يَرْمِيَان
m.
Apabila fi’il
mudhari’nya disandarkan kepada waw jamak, maka dihazafkan lam fi’ilnya dan
difathahkan huruf sebelum akhirnya yang alifi, dan didhammahkan huruf sebelum
akhirnya yang wawi dan ya-i. Contoh : يَرْضُونَ و يَخْشُونَ
n.
Apabila fi’il
mudhari’nya disandarkan kepada ya mukhatabah, maka dihazafkan lam fi’ilnya dan
difathahkan huruf sebelum akhir yang alifi dan dikasrohkan huruf sebelum
akhirnya yang wawi dan ya-i. Contoh : تَخْشِيْنَ
o.
Apabila fi’il amarnya
disandarkan kepada nun niswah atau alif itsnaini dan lam fi’ilnya adalah ya
atau waw maka keadaannya tetap seperti semula. Contoh : اسْرُون
و ارْمِيْن
p.
Apabila fi’il amarnya
disandarkan kepada nun niswah atau alif itsnaini dan lam fi’ilnya adalah alif,
maka diganti menjadi ya. Contoh : اخْشِيْنَ و اخْشِيَا
q.
Apabila fi’il amarnya
disandarkan kepada waw jamak atau ya mukhatabah, maka dihazafkan lam fi’ilnya,
difathahkan huruf sebelum akhirnya yang alifi dan dikasrohkan jika hurufnya
adalah ya dan waw beserta ya mukhatabah dan didhammahkan beserta waw jamak.
Contoh :
اخْشُوا و
اخْشِي[9]
I’rab fi’il mudhar’
mu’tal akhir :
·
Ditaqdirkan harkat
ketika rafa’ dan nashab pada fi’il mudhari’ mu’tal akhir dengan alif.
Contoh : محمد
يخشى ربه ( ketika rafa’,
maka tanda rafa’nya adalah dhammah yang ditaqdirkan diatas alif).
محمد
لن يخشى فى الحق لومة لائم ( ketika nashab, maka tanda nashabnya adalah fathah yang
ditaqdirkan diatas alif).
Ketika jazam,
dihazafkan alif dan tetap fathah huruf sebelumnya karena menunjukkan huruf yang
dihazafkan.
Contoh : محمد
لم يخش فى الحق لومة لائم
·
Fi’il
mudhari’ mu’tal akhir dengan waw dirafa’kan dengan dhammah muqoddaroh.
Contoh
: يسمو العلم (fi’il mudhari’ dirofa’kan dengan dhammah yang ditaqdirkan
diatas waw).
لن
يسفوَ الماء إلا بالتنقية ( fi’il
mudhari’ dinashabkan dengan fathah yang zhahir).
محمد
لم يدع إلا إلى الخير ( fi’il
mudhari’ dijazamkan dengan mengahazafkan huruf waw di akhirnya ).
·
Fi’il
mudhari’ mu’tal akhir dengan ya, maka I’rabnya dirafa’kan dengan dhammah yang
ditaqdirkan di atas ya, dinashabkan dengan fathah yang zhahir diatas ya, dan
dijazamkan dengan mengahazafkan huruf ya.[10]
d. Hukum lafif maqrun
1. Hukum ‘ain fi’ilnya seperti hukum ‘ain fi’il shahih,
maka tidak dimasuki oleh i’lal.
2. Hukum lam fi’ilnya seperti hukum lam naqish.
e. Hukum lafif mafruq
1. Hukum fa fi’ilnya seperti hukum fi’il mitsal.
2. Hukum lam fi’ilnya seperti hukum naqish.[11]
E.
Contoh
Tashrif Fi’il Shahih dan Mu’tal
اسم آلة
|
اسم زمان و
مكان
|
فعل نهى
|
فعل أمر
|
اسم مفعول
|
اسم فاعل
|
مصدر ميم
|
مصدر
|
فعل مضارع
|
فعل ماضى
|
بناء
|
مِنْصَرٌ
|
مَنْصَرٌ
|
لَا
تَنْصُرْ
|
أَنْصُرْ
|
مَنْصُوْرُ
|
نَاصِرٌ
|
مَنْصَرًا
|
نَصْرًا
|
يَنْصُرُ
|
نَصَرَ
|
صحيح
|
مِمَدٌّ
|
مَمَدٌّ
|
لَا تَمُدَّ
|
مُدَّ
|
مَمْدُوْدٌ
|
مَادُّ
|
مَمَدًّا
|
مَدًّا
|
يَمُدُّ
|
مَدَّ
|
مضاعف
|
-
|
مَبْأَسٌ
|
لَا
تَبْأَسْ
|
إِبْأَسْ
|
مَبْئُوْسٌ
|
بَائِسٌ
|
مَبْأَسًا
|
بُئْسًا
|
يَبْئَسُ
|
بَئِسَ
|
مهموز
|
مِيْعَادٌ
|
مَوْعِدٌ
|
لَا تَعِدْ
|
عِدْ
|
مَوْعُوْدٌ
|
وَاعِدٌ
|
مَوْعِدًا
|
عِدَةً
|
يَعِدُ
|
وَعَدَ
|
مثال
|
مِصْوَنٌ
|
مَصَانٌ
|
لَا تَصُنْ
|
صُنْ
|
مَصُوْنٌ
|
صَائِنٌ
|
مَصَانًا
|
صَوْنًا
|
يَصُوْنُ
|
صَانَ
|
أجوف
|
-
|
مَرْضًى
|
لَا تَرْضَ
|
إِرْضَ
|
مَرْضِيٌّ
|
رَاضٍ
|
مَرْضًا
|
رِضًا
|
يَرْضَى
|
رَضِيَ
|
ناقص
|
مِيْقًى
|
مَوْقًى
|
لَا تَقِ
|
قِ
|
مَوْقِيٌّ
|
وَاقٍ
|
مَوْقًى
|
وِقَايَةً
|
يَقِى
|
وَقَى
|
لفيف مفروق
|
-
|
مَقْوًى
|
لَا تَقْوَ
|
إِقْوَ
|
مَقْوِيٌّ
|
قَوِيٌّ
|
مَقْوًى
|
قُوَّةً
|
يَقْوِى
|
قَوِيَ
|
لفيف مقرون
|
[1]
DR. Abdul Hadi Al-Fadhla, Mukhtashshar
Ash-Sharf (Beirut:Darul Qalam),hal.87
[2]
Imam Al-Qudwah Ar-Rubaniy Abi
Al-Hasan Ali bin Hisyam Al-Kailani, Syarah Al-Kailani (Indonesia:Al-Haromain),hal.17
[3][3]
Abi Al-Fadhail Ibrahim bin
Abdul Wahab ‘Imaduddin bin Ibrahim Al-Zanjaani,Syarah Sa’duddin
At-Taftazaanii(Indonesia:Al-Haromain),hal.24.
[5]
Syaikh Musthafa Al-Ghalayaini,
Jami’ud Durus Al-Arabiyah (Beirut:Mantsurat Al-Maktabah
Al-‘Ashriyyah:1987),hal.53.
[6]
DR. Abdul Hadi Al-Fadhla, op.
cit., hal.88
[7]
Syaikh Musthafa Al-Ghalayaini,
op. cit.
[8]
Imam Al-Qudwah Ar-Rubaniy Abi
Al Hasan Ali bin Hisyam Al-Kailani, op. cit., hal. 30.
[9]
DR. Abdul Hadi Al-Fadhla, op.
cit., hal.88-93.
[10]
DR. Abdullah Muhammad An-Nuqthari, Asy-Syaamil
fil Lughatil Arabiyah (Libya:Darul Kutub Al-Wathaniyah),hal.36-37
[11]
DR. Abdul Hadi Al-Fadhla, op.
cit.
Bagus postinganya, ditunggu postingan berikutnya, teh Marhamah Ulfa :)
BalasHapusSyukran, insyaAllah :)
BalasHapus