Rabu, 19 Maret 2014

Fi'il shahih dan mu'tal



A.      Pengertian Fi’il Shahih dan Mu’tal
      Dipandang dari segi jenis hurufnya, fi’il terbagi menjadi shahih dan mu’tal.
1.      Fi’il Shahih
وهو ما كانت حروفه الاصول صحيحة وليست بحروف علة.
                  Yaitu fi’il yang huruf aslinya shahih dan bukan huruf ‘ilat.
                  Contoh : كتب، قرأ
2.      Fi’il Mu’tal
وهو ما فى حروفه الاصول شيء من حروف العلة.
                  Yaitu fi’il yang huruf aslinya salah satu dari huruf ‘ilat.
                  Contoh : وعد، وقى[1]
   
  Huruf ‘ilat ada 3, yaitu alif, waw dan ya. Menurut istilah ulama sharaf, huruf-huruf ini juga dinamakan sebagai huruf mad jika harkat huruf tersebut sukun dan harkat huruf sebelumnya sejenis dengan huruf tersebut. Contoh : قال، يقول. Dan juga dinamakan huruf lain ( لين ) jika huruf tersebut berharkat sukun, baik harkat huruf sebelumnya sejenis dengan huruf tersebut ataupun tidak. Contoh : قول، بيع. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa :
·   Alif adalah huruf ilat dan huruf lain ( لين )
·   Seluruh huruf mad adalah huruf lain, dan tidak semua huruf lain adalah huruf mad.
·   Jika huruf ilat berharkat dhammad, fathah atau kasroh, maka tidak dinamakan huruf ‘ilat dan huruf lain.[2]
Jika ketiga huruf tersebut terjadi sebagai huruf tambahan pada fi’il, maka tidak dapat dikatakan sebagai fi’il mu’tal. Seperti اعشوشب، قاتل.[3]

B.      Pembagian Fi’il Shahih
      Fi’il shahih terbagi menjadi 3, yaitu :
1.      Fi’il Salim
وهو ما كان احد حروفه الاصول من الهمز والتضعيف.
                  Yaitu fi’il yang pada huruf asalnya tidak terdapat hamzah dan tadh’if.
                  Contoh : ذهب، فرح
2.      Fi’il Mahmuz
وهو ما كان احد حروفه الاصول همزة.
Yaitu fi’il yang salah satu huruf aslinya adalah hamzah.
Contoh : أخذ، سأل، قرأ[4]
3.      Fi’il Mudha’af
وهو ما كان احد احرفه الاصلية مكرّرا لغير زيادة.
Yaitu fi’il yang salah satu huruf aslinya berulang-ulang bukan sebagai tambahan.
Fi’il ini terbagi menjadi 2, yaitu :
a.  Mudha’af Tsulatsi
Contoh : مدّ، مرّ
b.Mudha’af Ruba’i
Contoh : زلزل، دمدم
            Jika huruf yang berulang-ulang itu adalah huruf tambahan (zaidah), seperti عظّم، شذّب، اشتدّ، اعشوشب  maka tidak digolongkan sebagai fi’il mudha’af.[5]

C.      Pembagian Fi’il Mu’tal
      Fi’il mu’tal terbagi menjadi:
1.      Mitsal ( Mu’tal Fa )
وهو ما كانت فاؤه حرف علة.
                  Yaitu fi’il yang fa fi’ilnya adalah huruf ilat.
                  Contoh :  وعد، يسر
2.      Ajwaf ( Mu’tal ‘Ain )
وهو ما كانت عينه حرف علة.
                  Yaitu fi’il yang ‘ain fi’ilnya adalah huruf ilat.
                  Contoh : قال، باع
3.      Naqish ( Mu’tal Lam )
وهو ما كانت لامه حرف علة.
                  Yaitu fi’il yang lam fi’ilnya adalah huruf ilat.
                  Contoh : غزا، رمى
4.      Lafif
وهو ما كان فيه حرفا علة.
Yaitu fi’il yang didalamnya terdapat 2 huruf ilat.[6]
Lafif terbagi menjadi dua :
a.   Lafif Maqrun, yaitu fi’il yang didalamnya terdapat dua buah huruf ilat yang beriringan, contoh : طوى، نوى
b.Lafif Mafruq, yaitu fi’il yang didalamnya terdapat dua buah huruf ilat yang berpisah, contoh : وفى، وقى[7]
5.      Mu’tal Fa dan ‘Ain
      Yaitu fi’il yang fa dan ‘ain fi’ilnya adalah huruf ilat. Seperti : يين (isim makan), يوم (isim zaman), ويل  (isim makan). Dan didalam bahasa Arab tidak ditemukan fi’il dalam pembagian ini.

6.      Mu’tal Majmu’
      Yaitu mu’tal fa, ‘ain dan lam. Dimana terdapat huruf ‘ilat terjadi pada fa, ‘ain dan lam fi’ilnya. Contohnya :
واو   : asalnya adalah ووو, diganti ‘ain fi’ilnya menjadi alif karena dibencinya  berkumpul 2 buah huruf ‘ilat yang berharkat didalam satu kata.
ياء    :  asalnya adalah ييي, diganti ‘ain fi’ilnya menjadi alif sebagaimana contoh diatas, lalu diganti ya terakhir menjadi hamzah karena ringan.
Dua buah huruf ini tidak sama dengan huruf lain seperti الباء، الخاء dan lain-lain.[8]

D.     Hukum-hukum Pembagian Fi’il Shahih dan Mu’tal
      Masing-masing pembagian fi’il shahih dan mu’tal diatas mempunyai hukum-hukum tertentu, yaitu :
1.      Hukum Fi’il Shahih
a.   Hukum fi’il salim
ü  Tidak dihazafkan apapun ketika dihubungi dhamir atau ta taknis.
ü  Tidak dihazafkan apapun ketika mentashrifkannya sampai musytaqnya.
ü  Huruf akhirnya tetap apabila dihubungi oleh dhamir rafa’ yang berharkat, seperti : كتبت، نصرناكم
ü  Difathahkan huruf akhirnya beserta alif itsnaini, didhammahkan akhirnya beserta waw jama’, dan dikasrahkan beserta ya mukhatabah. Masing-masing untuk menyesuaikan, seperti : نصرا، نصروا، تنصرين
b.Hukum mahmuz
ü  Hukum mahmuz jika dihubungi oleh dhamir sama dengan hukum fi’il salim.
ü  Dihazafkan hamzah pada fi’il amarnya untuk takhfif (meringankan). Contoh : خذ، كل
ü  Dihazafkan hamzah dari fi’il mudhari’ dan amar setelah memindahkan harakatnya kepada fa fi’il, contoh : يرى
ü  Dihazafkan hamzah yang terjadi sebagai ‘ain fi’il dan yang asalnya adalah ارأى pada fi'il madhi, mudhari’, amar dan musytaqnya. Contoh : ارى، ترى
c.       Hukum mudha’af
1.      Fi’il Madhi
ü  Wajib mengidghamkan apabila dihubungi dhamir rafa’ yang sakin. Seperti: مدّا، مدّوا. Begitu juga bila dihubungi oleh ta taknis, seperti : امتدّت
ü  Wajib menghilangkan idgham apabila dihubungi oleh dhamir rafa’ yang berharkat. Seperti : مددتَ، مددنا، مددن
ü  Apabila ‘ain fi’ilnya dikasrahkan dan disandarkan kepada dhamir yang berharkat, boleh pada fi’il tersebut 3 bentuk, yaitu :
Ø  Disesuaikan dengan kaidah yang terdahulu, yaitu menghilangkan idgham, contoh : ظللت
Ø  Menghazafkan ‘ain fi’ilnya dengan tetap fathah fa fi’il pada keadaannya, contoh : ظلت (lughat Bani Amir)
Ø  Dihazafkan ‘ain fi’ilnya dan dipindahkan kasrahnya kepada fa fi’il. Contoh : ظلت (lughat sebagian penduduk Hijaz)
2.      Fi’il Mudhari’
ü  Wajib mengidghamkan apabila disandarkan kepada dhamir rafa’ yang sakin. Contoh : يمدّان
ü  Wajib menghilangkan idgham apabila disandarkan kepada dhamir rafa’ yang berharkat. Contoh : يمددن
ü  Boleh mengidghamkan dan menghilangkannya apabila fi’il itu majzum dan disandarkan kepada isim zhahir atau dhamir mustatir. Contoh : لم يمدَّ، لم يمدد.
3.      Fi’il Amar
ü  Wajib idgham apabila fi’ilnya disandarkan kepada dhamir yang sakin. Contoh : مدّا، مدّوا، مدّي
ü  Wajib menghilangkan idgham apabila disandarkan kepada dhamir yang berharkat, contoh : امددن
ü  Boleh mengidghamkan dan menghilangkan idghamnya apabila disandarkan kepada dhamir mustatir. Contoh : مدّ، امدد، خفّ، اخفف
2.      Hukum Fi’il Mu’tal
a.      Hukum Mitsal
1.      Fi’il Madhi
Hukum fi’il madhi mitsal seperti hukum fi’il salim.
2.      Fi’il Mudhari’ dan Amar
ü  Hukum mitsal ya-i pada fi’il mudhari’ dan amar seperti hukum fi’il salim.
ü  Hukum mitsal wawi pada fi’il mudhari’ dan amar adalah wajib menghazafkan waw dengan dua syarat, yaitu : fi’il madhinya adalah tsulatsi mujarrad dan ‘ain fi’il mudhari’nya kasroh. Seperti : وعد يعد، وثق يثق
b.      Hukum Fi’il Ajwaf
1.      Wajib menghazafkan ‘ain fi’ilnya apabila fi’il madhinya disandarkan kepada dhamir rafa’ yang berharkat karena bertemu dua yang sakin. Contoh : قلت، بعنا، قمن
2.      Wajib mengkasrohkan fa fi’ilnya jika sewazan dengan فَعِلَ apabila disandarkan kepada dhamir rafa' yang berharkat. Contoh : خفت
3.      Wajib mendhammahkan fa fi’il yang wawi jika sewazan dengan فَعَلَ. Contoh : صُمْت، طبت
4.      Wajib mengkasrohkan fa fi’il yang ya-i jika sewazan dengan فَعَلَ. Contoh : بعت، طبت
5.      Wajib mendhammahkan fa fi’ilnya jika sewazan dengan فَعُلَ.  Contoh : طلت
6.      Wajib mengganti huruf ilat dari fi’il wazan انفعل dan  افتعلmenjadi alif karena harkatnya dan difathahkan huruf sebelumnya. Contoh : انقاد ينقاد، اختار يختار
7.      Wajib memindahkan harkat huruf ilat kepada huruf sebelumnya pada fi’il mudhari’ tsulatsi ( seperti نصر، ضرب ). Contoh : يَقْوُلُ  menjadi يَقُوْلُ
8.      Wajib memindahkan harkat huruf ilat kepada huruf sebelumnya dan menggantinya menjadi alif pada fi’il mudhari’ tsulatsi  seperti علم يعلم  dan mudhari yang wawi seperti افعل  dan استفعل. Contoh : يَخْوَفُ (dengan sukun “kha” dan fathah “waw”) maka diubah menjadi يَخوفُ (dengan fathah “kha” dan sukun “waw”), lalu waw ditukar menjadi alif karena fathah huruf sebelum waw.
9.      Menghazafkan ‘ain fi’il mudhari’nya apabila disandarkan kepada dhamir yang berharkat. Ini adalah salah satu fi’il yang wajib dii’lal. Contoh : يقلن و يرعن
c.       Hukum fi’il naqish
1.      Hukum naqish yang kosong dari dhamir
a.      Apabila fi’il naqish itu madhi tsulatsi mujarrad,‘ain fi’ilnya dhammah dan la fi’ilnya adalah waw, maka hukumnya tetap seperti keadaan awalnya. Contohnya : سَرُوَ
b.      Apabila fi’il naqish itu madhi tsulatsi mujarrad, ‘ain fi’ilnya dhammah dan lam fi’ilnya adalah ya, maka ya itu diganti menjadi waw karena terletak setelah dhammah. Contoh : نَهُوَ
c.       Apabila fi’il naqish itu madhi tsulatsi mujarrad, ‘ain fi’ilnya kasroh dan lam fi’ilnya adalah ya, maka tetap seperti keadaan awalnya. Contoh : بَقِيَ
d.      Apabila fi’il naqish itu madhi tsulatsi mujarrad, ‘ain fi’ilnya kasroh dan lam fi’ilnya adalah waw, maka waw diganti menjadi ya karena terletak setelah kasroh. Contoh : رَضِيَ
e.      Apabila fi’il naqish itu tsulatsi mujarrad dan ‘ain fi’ilnya fathah, maka lam fi’ilnya diganti menjadi alif baik asalnya waw maupun ya karena harkat keduanya dan fathah huruf sebelumnya. Contoh : سَمَا و رَمَى
f.        Apabila fi’il naqish itu madhi ghairu tsulatsi, lam fi’ilnya diganti menjadi alif karena asalnya harkat huruf sebelumnya adalah fathah. Contoh : نَادَى اهْتَدَى
g.      Apabila fi’il naqish itu mudhari’ tsulatsi yang wawi dan harkat huruf sebelum akhir adalah dhammah, maka lam fi’ilnya menjadi waw. Contoh : يَسْرُو و يَدْعُو
h.      Apabila fi’il naqish itu mudhari’ tsulatsi yang ya-i atau ruba’I dan harkat huruf sebelum akhirnya adalah kasroh, maka lam fi’ilnya menjadi ya. Contoh : يَرْمِى و يُعْطِي
i.        Apabila fi’il naqish itu mudhari’ tsulatsi dari bab   فَتَحَdan عَلِمَ  atau khumasi yang diawali oleh ta zaidah dan harkat huruf sebelum akhirnya adalah fathah, maka lam fi’ilnya menjadi fa. Contoh : يَرْضَى و يَتَزَكَّى
2.      Hukum naqish yang disandarkan kepada dhamir
a.      Apabila fi’il madhinya disandarkan kepada dhamir yang berharkat dan lam fi’ilnya waw atau ya, maka hukumnya tetap seperti awalnya. Contoh : سَرُوْتُ و رَضِيْتُ
b.      Apabila fi’il madhinya disandarkan kepada dhamir yang berharkat dan lam fi’ilnya adalah alif, maka dikembalikan kepada asalnya. Contoh : دَعَوْتَ رَمَيْتُ
c.       Apabila fi’il madhinya disandarkan kepada dhamir yang berharkat dan fi’il tersebut bukan tsulatsi dan lam fi’ilnya adalah alif, maka lam fi’ilnya diganti menjadi ya. Contoh :  أَعْطَيْتَ و اسْتَدْعَيْتِ
d.      Apabila fi’il madhinya dihubungi oleh ta taknis dan lam fi’ilnya adalah waw atau ya, maka lam fi’ilnya difathahkan. Contoh : سَرُوَتْ و رَضِيَتْ
e.      Apabila fi’il madhinya dihubungi oleh ta taknis dan lam fi’ilnya adalah alif, maka lam fi’ilnya dihazafkan karena bertemu dua yang sakin. Contoh : وَعتْ و رَمَتْ و بَنَتْ
f.        Apabila fi’il madhinya disandarkan kepada alif itsnaini dan lam fi’ilnya adalah waw atau ya, maka keadaannya tetap. Contoh : :  سَرُوَا و رَضِيَا
g.      Apabila fi’il madhinya disandarkan kepada alif itsnaini dan lam fi’ilnya adalah alif, maka dikembalikan kepada asalnya. Contoh :  دَعَوَا و بَقْيَا
h.      Apabila fi’il madhinya yang ghairu tsulatsi disandarkan kepada alif itsnaini dan lam fi’ilnya adalah alif, maka diganti menjadi ya. Contoh : نَادَيَا و اسْتَدْعَيَا
i.        Apabila fi’il madhinya disandarkan kepada waw jamak, maka dihazafkan lam fi’ilnya dan difathahkan huruf sebelum akhirnya jika hurufnya adalah alif. Dan didhammahkan jika hurufnya adalah waw dan ya. Contoh : دَعُوا
j.        Apabila fi’il mudhari’nya disandarkan kepada nun niswah dan lam fi’ilnya adalah waw atau ya, maka keadaannya tetap. Contoh : يَدْعُون
k.       Apabila fi’il mudhari’nya disandarkan kepada nun niswah dan lam fi’ilnya adalah alif, maka diganti menjadi ya. Contoh :  يَرْضِيْنَ
l.        Hukum menyandarkannya kepada alif itsnaini seperti hukum menyandarkannya kepada nun niswah. Contoh : يَدْعُوَان و يَرْمِيَان
m.    Apabila fi’il mudhari’nya disandarkan kepada waw jamak, maka dihazafkan lam fi’ilnya dan difathahkan huruf sebelum akhirnya yang alifi, dan didhammahkan huruf sebelum akhirnya yang wawi dan ya-i. Contoh : يَرْضُونَ و يَخْشُونَ
n.      Apabila fi’il mudhari’nya disandarkan kepada ya mukhatabah, maka dihazafkan lam fi’ilnya dan difathahkan huruf sebelum akhir yang alifi dan dikasrohkan huruf sebelum akhirnya yang wawi dan ya-i. Contoh : تَخْشِيْنَ
o.      Apabila fi’il amarnya disandarkan kepada nun niswah atau alif itsnaini dan lam fi’ilnya adalah ya atau waw maka keadaannya tetap seperti semula. Contoh : اسْرُون و ارْمِيْن
p.      Apabila fi’il amarnya disandarkan kepada nun niswah atau alif itsnaini dan lam fi’ilnya adalah alif, maka diganti menjadi ya. Contoh : اخْشِيْنَ و اخْشِيَا
q.      Apabila fi’il amarnya disandarkan kepada waw jamak atau ya mukhatabah, maka dihazafkan lam fi’ilnya, difathahkan huruf sebelum akhirnya yang alifi dan dikasrohkan jika hurufnya adalah ya dan waw beserta ya mukhatabah dan didhammahkan beserta waw jamak. Contoh : اخْشُوا و اخْشِي[9]
I’rab fi’il mudhar’ mu’tal akhir :
·         Ditaqdirkan harkat ketika rafa’ dan nashab pada fi’il mudhari’ mu’tal akhir dengan alif.
Contoh : محمد يخشى ربه ( ketika rafa’, maka tanda rafa’nya adalah dhammah yang ditaqdirkan diatas alif).
                  محمد لن يخشى فى الحق لومة لائم ( ketika nashab, maka tanda nashabnya adalah fathah yang ditaqdirkan diatas alif).
Ketika jazam, dihazafkan alif dan tetap fathah huruf sebelumnya karena menunjukkan huruf yang dihazafkan.
Contoh  :    محمد لم يخش فى الحق لومة لائم
·         Fi’il mudhari’ mu’tal akhir dengan waw dirafa’kan dengan dhammah muqoddaroh.
Contoh : يسمو العلم (fi’il mudhari’ dirofa’kan dengan dhammah yang ditaqdirkan diatas waw).
                  لن يسفوَ الماء إلا بالتنقية ( fi’il mudhari’ dinashabkan dengan fathah yang zhahir).
                  محمد لم يدع إلا إلى الخير ( fi’il mudhari’ dijazamkan dengan mengahazafkan huruf waw di akhirnya ).
·         Fi’il mudhari’ mu’tal akhir dengan ya, maka I’rabnya dirafa’kan dengan dhammah yang ditaqdirkan di atas ya, dinashabkan dengan fathah yang zhahir diatas ya, dan dijazamkan dengan mengahazafkan huruf ya.[10]

                                   
d.      Hukum lafif maqrun
1.      Hukum ‘ain fi’ilnya seperti hukum ‘ain fi’il shahih, maka tidak dimasuki oleh i’lal.
2.      Hukum lam fi’ilnya seperti hukum lam naqish.

e.      Hukum lafif mafruq
1.      Hukum fa fi’ilnya seperti hukum fi’il mitsal.
2.      Hukum lam fi’ilnya seperti hukum naqish.[11]
E.      Contoh Tashrif Fi’il Shahih dan Mu’tal
اسم آلة
اسم زمان و مكان
فعل نهى
فعل أمر
اسم مفعول
اسم فاعل
مصدر ميم
مصدر
فعل مضارع
فعل ماضى
بناء
مِنْصَرٌ
مَنْصَرٌ
لَا تَنْصُرْ
أَنْصُرْ
مَنْصُوْرُ
نَاصِرٌ
مَنْصَرًا
نَصْرًا
يَنْصُرُ
نَصَرَ
صحيح
مِمَدٌّ
مَمَدٌّ
لَا تَمُدَّ
مُدَّ
مَمْدُوْدٌ
مَادُّ
مَمَدًّا
مَدًّا
يَمُدُّ
مَدَّ
مضاعف
-
مَبْأَسٌ
لَا تَبْأَسْ
إِبْأَسْ
مَبْئُوْسٌ
بَائِسٌ
مَبْأَسًا
بُئْسًا
يَبْئَسُ
بَئِسَ
مهموز
مِيْعَادٌ
مَوْعِدٌ
لَا تَعِدْ
عِدْ
مَوْعُوْدٌ
وَاعِدٌ
مَوْعِدًا
عِدَةً
يَعِدُ
وَعَدَ
مثال
مِصْوَنٌ
مَصَانٌ
لَا تَصُنْ
صُنْ
مَصُوْنٌ
صَائِنٌ
مَصَانًا
صَوْنًا
يَصُوْنُ
صَانَ
أجوف
-
مَرْضًى
لَا تَرْضَ
إِرْضَ
مَرْضِيٌّ
رَاضٍ
مَرْضًا
رِضًا
يَرْضَى
رَضِيَ
ناقص
مِيْقًى
مَوْقًى
لَا تَقِ
قِ
مَوْقِيٌّ
وَاقٍ
مَوْقًى
وِقَايَةً
يَقِى
وَقَى
لفيف مفروق
-
مَقْوًى
لَا تَقْوَ
إِقْوَ
مَقْوِيٌّ
قَوِيٌّ
مَقْوًى
قُوَّةً
يَقْوِى
قَوِيَ
لفيف مقرون


[1] DR. Abdul Hadi Al-Fadhla, Mukhtashshar Ash-Sharf (Beirut:Darul Qalam),hal.87

[2] Imam Al-Qudwah Ar-Rubaniy Abi Al-Hasan Ali bin Hisyam Al-Kailani, Syarah Al-Kailani (Indonesia:Al-Haromain),hal.17
[3][3] Abi Al-Fadhail Ibrahim bin Abdul Wahab ‘Imaduddin bin Ibrahim Al-Zanjaani,Syarah Sa’duddin At-Taftazaanii(Indonesia:Al-Haromain),hal.24.
        [4] DR. Abdul Hadi Al-Fadhla, op. cit.

        [5] Syaikh Musthafa Al-Ghalayaini, Jami’ud Durus Al-Arabiyah (Beirut:Mantsurat Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah:1987),hal.53.

[6] DR. Abdul Hadi Al-Fadhla, op. cit., hal.88
[7] Syaikh Musthafa Al-Ghalayaini, op. cit.
[8] Imam Al-Qudwah Ar-Rubaniy Abi Al Hasan Ali bin Hisyam Al-Kailani, op. cit., hal. 30.
[9] DR. Abdul Hadi Al-Fadhla, op. cit., hal.88-93.

[10]   DR. Abdullah Muhammad An-Nuqthari, Asy-Syaamil fil Lughatil Arabiyah (Libya:Darul Kutub Al-Wathaniyah),hal.36-37
[11] DR. Abdul Hadi Al-Fadhla, op. cit.

2 komentar: