Minggu, 06 November 2016

Kebijakan Politik Kerajaan Islam di Andalusia

Menjelang 711 M, pasukan yang terdiri dari suku Barber yang baru memeluk Islam yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad bergerak memasuki Eropa. Penaklukan wilayah ini sepertinya tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari penguasa mereka karena secara politis kekuatan pemerintahan mereka pada kondisi yang lemah, dimana posisi rakyatnya sedang berseberangan dengan penguasanya. Sejak pertama kali berkembangnya kekuasaan dan kepemimpinan Islam di Andalusia, tampaknya telah memainkan peranan yang sangat besar dalam membangun citra budaya dan peradaban kemanusiaan di wilayah ini. Dan kemenangan ini merupakan awal dari peradaban Islam di Andalusia, yang selanjutnya disebut dengan Spanyol.

Bani Umayyah II
Pada masa ini, dapat dikatakan bahwa arus ekspansi Islam mencapai puncaknya, di bawa kepemimpinan Al-Walid (khalifah Bani Umayyah VI), dimana peta Islam meluas ke Barat sampai semenanjung Iberia dan di kaki Gunung Pyrenia (Pyrenees), Prancis, termasuk Afrika Utara. Di Utara meliputi Asia Kecil dan Armenia dengan rute-rute pantai Laut Kaspia menyeberangi Sungai Oxus, Asia Tengah bagian Rusia yang dikuasai setelah penaklukan Azerbaizan, sebagian Georgia, seberang Sungai Jihun (Amu Daria dan Sir Daria), dan ke Timur sampai ke India dan perbatasan China.
Andalusia, adalah sebutan pada masa Islam bagi daerah yang dikenal dengan sebutan Semenanjung Iberia (kurang lebih 93% wilayah Spanyol). Kondisi sosial masyarakat Andalusia menjelang penaklukan Islam sangat memprihatinkan. Masyarakat terpolarisasi ke dalam beberapa kelas sesuai dengan latar belakang sosialnya, sehingga ada masyarakat kelas 1, 2, dan 3. Pengelompokan ini membuat masyarakat kelas 2 dan 3 merasa tertindas oleh kelas atas sehingga lari ke hutan karena trauma dengan penindasan tersebut. Untuk mempertahankan hidup, mereka terpaksa mencuri, merampas bahkan membunuh. Kebangkrutan moral tersebut bersamaan dengan kemerosotan ekonomi.
Penaklukan Andalusia oleh kekuatan Islam ini disambut antusias oleh masyarakat kelas 2 dan 3, mereka berharap banyak terhadap cahaya Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Islam mengajarkan bahwa bumi dan semua isinya adalah milik Allah dan bagi mereka yang mengerjakan serta membuatnya subur, dia berhak untuk menikmati hasilnya. Mereka mendengar prinsip keadilan yang dijalankan Thariq di Tangier, yaitu semua manusia memiliki derajat yang sama, tidak ada kelebihan orang yang berkulit putih dari yang hitam, orang Arab dari yang bukan Arab, demikian pula sebaliknya. Manusia yang paling tinggi derajatnya adalah yang paling baik akhlaknya, yang paling bermanfaat bagi kemanusiaan. Prinsip keadilan ini benar-benar menggungah hati mereka dan membuat mereka tertarik pada Islam.
Dan dalam ekspansi ini, dapat dikatakan bahwa pasukan Islam dibawah pimpinan Thariq bin Ziyad tidak begitu mengalami kesulitan berarti. Kemenangan Islam atas Spanyol ini disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal antara lain:
Secara politis, kekuatan pemerintahan mereka pada kondisi yang lemah, dimana posisi rakyatnya sedang berseberangan dengan penguasanya. Kekacauan politik ini juga berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Menurut Syed Mahmudunnasir, sikap penguasa Ghotic –sebutan lazim bagi kerajaan Visighotie- yang tidak toleran terhadap aliran agama yang berkembang saat itu. Penguasa Visighotie memaksakan aliran agamanya kepada masyarakat. Penganut agama Yahudi yang merupakan komunitas terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen, dan mereka yang tidak bersedia akan disiksa dan dibunuh. Dalam kondisi tertindas secara teologis, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas. Dan juru pembebas tersebut mereka temuka dari orang-orang Islam. Demi kepentingan mempertahankan keyakinan, mereka bersekutu dengan tentara Islam melawan penguasa.
Ahmad Salabi menjelaskan bahwa perselisihan antara Raja Roderick dengan Witiza (Walikota Teledo) di satu pihak dan Ratu Julian di pihak lain. Oppas dan Achila, kakek dan anak Wietza, menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick, bahkan berkoalisi dengan kaum muslimin di Afrika Utara. Demikian pula, Ratu Julian, ia bahkan memberikan pinjaman 4 buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Thariq dan Musa.
Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa tentara Roderick tidak mempunyai semangat perang.
Selain beberapa faktor eksternal di atas, kemenangan pasukan Islam juga dipengaruhi faktor internal, yaitu para pemimpin adalah tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tidak kalah pentingnya, adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong-menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di daerah tersebut.
Tetapi, meskipun memperoleh kemenangan di Andalusia, pasukan Islam yang dipimpin oleh Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad belum menaklukkan daerah-daerah basis Kristen di Andalusia Utara. Di kemudian hari, kaum Kristen bersatu dan mengusir kaum muslim, sebab mereka tidak pernah dikuasai Islam sama sekali. Hal itu menjadi salah satu penyebab utama terhapusnya Islam dari sana.
Musa bin Nushair menempatkan putranya, Abdul Aziz sebagai penguasa Andalusia dengan Seville sebagai ibukota Islam pertama. Abdullah di Ifriqiyyah, Abd Al-Malik di Maroko, dan Abd Al-Saleh diserahi daerah pesisir dengan ibukota Tangier.
Penaklukan Islam atas Vandalusia (Andalusia atau Spanyol) memberi dampak positif yang luar biasa. Andalusia dijadikan tempat ideal dan pusat pengembangan budaya. Ketika peradaban Eropa tenggelam dalam kegelapan dan kehancuran, obor Islam menyinari seluruh Eropa melalui Andalusia, kepada bangsa Vandal, Goth dan Berber, Islam menegakkan keadilan yang belum dikenal sebelumnya. Rakyat jelata tertindas yang hidup dalam kegelapan mendapat sinar keadilan, memiliki kemerdekaan hidup dan menentukan nasibnya sendiri. Para budak pada bangsa Goth dimerdekakan oleh penguasa muslim dan diberi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Sikap toleransi kaum muslim adalah perjanjian damai dengan pihak para penguasa yang telah ditaklukkan.
Pengangkatan Musa sebagai penguasa Afrika Utara juga merupakan salah satu sebab keberhasilan Islam di Andalusia. Saat ia baru ditempatkan di Qayrawan, semula Kaum Berber tidak dapat menerimanya dengan mudah. Mereka berulang kali berontak terhadap Musa dan pasukan muslim, namun karena kelihaian, keberanian, pendekatan persuasif, sikap kekeluargaan dan toleran, Musa berhasil mengambil hati rakyat. Misalnya, ia mengangkat Thariq sebagai panglima perang merupakan tanda bahwa Musa adalah seorang jenderal yang menghormati suara mayoritas dimana pasukan muslim yang dipimpin Thariq hanya ada sedikit tentara Arab. Lewis mencatat, bahwa Thariq memimpin 12.000 tentara dari Kaum Berber, dan hanya 16 orang Arab. Spanyol di bawah kekuasaan Islam hampir 8 abad, yang menurut pengamatan Hitti berhasil: “satu-satunya lembaran tercemerlang di dalam sejarah alam pikiran Eropa Abad Pertengahan”. Saat ditaklukkan, tingkat peradaban Spanyol sangat rendah dan keadaan umumnya begitu menyedihkan, sehingga kaum muslimin lebih banyak mengajar daripada belajar.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sepeninggal Musa dan Thariq, Andalusia dipimpin oleh Abdul Aziz, namun Abdul Aziz terbunuh oleh pasukan Sulaiman, khalifah Bani Abbasiyah. Ia dituduh murtad karena menikahi janda Roderick.
Selanjutnya Andalusia dipimpin oleh Al-Hurr bin Abdurrahman (716-718 M). Tetapi karena persatuan Kristen begitu kuat, ia dapat dikalahkan dan gugur. Selanjutnya dipimpin Al-Anbasah bin Sahim (721-725). Akan tetapi karena kebencian orang Kristen yang mendalam, akhirnya ia dibunuh saat dalam perjalanan. Kemudian dalam enam tahun terdapat enam penguasan yang tidak satupun cakap dalam memimpin. Maka diangkatkan Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk kedua kalinya (730-732 M). Sebelumnya ia dipilih oleh tentara (721 M),namun hanya bertahan selama 6 bulan tanpa restu khalifah atau Gubernur Jenderal. Penguasa ini berhasil memperluas wilayah Islam di Eropa mencapai puncaknya, namun akhirnya ia terbunuh oleh pasukan Perancis dalam sebuah peperangan di Tours, akibat dari keteledoran pasukannya dalam menerapkan strategi perang. Di samping itu, kekuatan politik dan strategi militer dari persatuan dan kekuatan Kristen Eropa melampaui Islam, sehingga memperlemah kondisi kekuasaan Islam di Andalusia. Apalagi dengan adanya perebutan kekuasaan di internal penguasa muslim menambah kekacauan Andalusia. Akhirnya penguasa terakhir mereka, yaitu Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihri dapat ditaklukkan Abdurrahman Ad-Dakhil.
Beberapa sejarawan di antaranya Philip K. Hitti, S.P Scoot, dan Lane Poole menilai, seandainya orang muslim berhasil menaklukkan Perancis di Tours, maka Islam menjadi agama negara di Eropa dan menggantikan Bibel. Perguruan tinggi di Eropa seperti Oxford dan Sorbone akan mengajarkan mahasiswanya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, namun hal itu tidak terjadi.
Kebijakan Politik Dinasti Bani Umayyah II
Dinasti Bani Umayyah berkuasa selama kurang lebih 3 abad. Khalifah pertama dinasti ini adalah Abdurrahman Ad-Dakhil, dan ditutup dengan kekhalifahan Hisyam III atau Al-Mu’tadd. Dan selama 3 abad pemerintahan tersebut, telah banyak kebijakan-kebijakan yang dipimpin oleh para khalifah semenjak awal kekuasaan hingga keruntuhannya. Berikut ini adalah beberapa kebijakan yang diambil selama kekhalifahan Dinasti Bani Umayyah II:
Adanya bendera Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol
Tatkala Abdurrahman Ad-Dakhil dan para pengikutnya merengsek ke Kordova, Yusuf Al-Fihri, Gubernur Afrika Utara saat itu bergerak menuju Seville. Sebelum peperangan berlangsung, sang pangeran tampaknya tidak memiliki panji militer sendiri, sehingga pimpinan pasukan Yamaniyah di Seville, Abu Al-Sabbah Al-Yashubi merancang sebuah bendera dengan mengikatkan sehelai sorban hijau di ujung sebilah tombak. Begitulah menurut riwayat, asal muasal bendera Umayyah di Spanyol.
Dibai’atnya Abdurrahman Ad-Dakhil sebagai pemimpin, dan diproklamasikannya Imarah Umayyah II di Spanyol
Sejak 756 M, dimulailah masa pengakuan dan kemenangan Ad-Dakhil kemudian diteruskan ke kota-kota Sevilla, Archidon, Sidonia, dan Moron de la Frontura. Sebagian besar para amir secara resmi menyatakan setia pada Ad-Dakhil. Mereka melakukan bai’at baik secara berjama’ah maupun individual, atas kepemimpinan baru Bani Umayyah ini. Dan pada tanggal 15 Mei 756 M, Abdurrahman Ad-Dakhil akhirnya memproklamasikan berdirinya Imarah Umayyah II di Andalusia (Spanyol). Sebelum Ad-Dakhil melakukan ini, ternyata ada juga beberapa gubernur di Andalusia khususnya saat dipegang oleh Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihri dari suku Mudari, telah melakukan aviliasi atau tunduk di bawah kekuasaan Bani Abbas di Baghdad, walaupun pada akhirnya ia melakukan bai’at kepada Ad-Dakhil. Sehingga secara resmi dimulailah kekuasaan yang kedua dari Bani Umayyah sebagai negara yang berdiri sendiri, berdaulat lepas dari Abbasiyah di Baghdad.
Tidak lagi disebutkannya nama-nama khalifah di Baghdad pada khutbah Jum’at
Sejak tahun 757 M, Abdurrahman Ad-Dakhil menyerukan kepada seluruh masyarakat Islam di Spanyol untuk tidak lagi menyebutkan nama-nama khalifah di Baghdad dalam setiap khutbah Jum’atnya sebagai sebuah realitas dalam membuktikan adanya pelepasan kepemimpinan baik secara spiritual mapun formal politik.
Pengakuan seluruh rakyat terhadap kepemimpinan Dinasti Umayyah II
Mereka yang melakukan bai’at terhadap Ad-Dakhil terdiri dari tiga komunitas politik pada saat itu, yakni : 1. Para pendukung Ad-Dakhil sendiri; 2. Para penguasa daerah (amir) dan kepala-kepala suku yang telah ditaklukkan; dan 3. Masyarakat umum di seluruh pelosok daerah. Tunduknya amir-amir lokal kepada Ad-Dakhil tentunya telah diikuti oleh seluruh rakyatnya secara massif. Walaupun bai’at yang dilakukan rakyat tidak berbentuk pengakuan lisan, tetapi dengan diamnya dan dengan mereka tidak melakukan reaksi menentang, berarti dapat diartikan sebagai suatu ketaatan dan patuh pada penguasa baru. Bai’at semacam ini disebut bai’at sukuti. Hal seperti ini yang dilakukan oleh penduduk Kordova, Toledo, Merida, Sevilla, Torrox, dan lain-lain.
Sistem pergantian Amir dalam Imarah yang berlaku pada masa ini adalah monarki absolut
Sistem pergantian atau suksesi kepemimpinan di Spanyol tidak jauh berbeda dengan sistem yang berlaku pada masa Umayyah I di Damaskus, yakni dengan jalan para amir yang sedang berkuasa sudah menunjuk atau menentukan untuk penggantinya. Mereka ini disebut sebagai putra mahkota atau waliyyul ‘ahdi (penguasa yang dijanjikan). Jika kelak amir yang sedang berkuasa ini meninggal dunia, secara langsung ia akan menggantikannya.
Tradisi seperti ini, tampaknya bukan ciptaan tradisi Arab atau Barbar tapi mungkin berasal dari tradisi Romawi yang biasa disebut Monarki Absolut.
Meskipun Amir Ad-Dakhil sudah menunjuk waliyyul ‘ahdi, pertentangan untuk memperebutkan kedudukan Amir terus berlanjut. Ad-Dakhil akhirnya menetapkan anaknya yang lebih muda, Hisyam sebagai penggantinya.
Mendirikan lembaga-lembaga pemerintahan
Pemerintahan pusat di Andalusia dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh beberapa lembaga, dan secara substantif lembaga-lembaga ini tidak jauh berbeda dengan lembaga-lembaga yang pernah ada di pemerintahan sebelumnya, ketika masih di bawah kekuasaan pusat Umayyah I di Damaskus. Tetapi sejak Ad-Dakhil berkuasa dan mengubah wilayah ini menjadi imarah, ia juga melakukan perubahan fungsi dan status kelembagaan yang ada, sesuai dengan kebutuhan penataan wilayah dan masyarakatnya, yang utama karena untuk diselaraskan dengan kepentingan penataan politiknya. Sejak dulu, ketika Andalus sebagai bagian provinsi dari wilayah Afrika Utara yang berpusat di Kairawan, wilayah ini telah memiliki lembaga-lembaga formal yang mengatur jalannya kehidupan sosial-politik keagamaan. Sehingga sejak saat itu, ruang lingkup dan tingkat kewenangan lembaga-lembaga yang ada semakin diperluas menjadi lembaga yang cukup kompleks.
Amir Andalus sebagai pemerintah pusat di Spanyol yang berkedudukan di Istana Kordova adalah sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang memiliki kewenangan yang sangat besar dan luas. Ia dibantu oleh seorang hajib yang diangkatnya sebagai orang kepercayaan utama, dan ia bertanggung jawab penuh kepada Amir Andalus ini. Pada masa-masa awal pemerintahannya seluruh persoalan negara ditangani oleh hajib. Tetapi pada periode-periode berikutnya, di bawah hajib ada lagi majelis wazir yang berfungsi untuk menangani seluruh urusan teknis kelembagaan/departemen. Dalam hal ini, hajib pada akhirnya hanya berfungsi sebagai penghubung antara amir pusat dengan majelis wazir ini. Majelis wazir ini yang sekarang disebut menteri negara, sedangkan hajib berfungsi sebagai perdana menterinya. Wazir-wazir inilah yang berfungsi sebagai tiang-tiang penyangga penyelenggaraan pemerintahan negara.
Adapun pembagian bidang-bidang tugas para wazir pada saat ini adalah:
Wazir yang mengurusi kehartabendaan negara;
Wazir yang mengurusi administrasi negara/surat menyurat;
Wazir yang mengurusi pegaduan tindakan madzalim/hukum;
Wazir yang mengurusi pelabuhan (thuqur); sekarang syahbandar pelabuhan dan perhubungan laut.
Selain itu, Amir juga dibantu oleh Qadhi al-Qudhat (hakim agung), yang berfungsi untuk menegakkan hukum di pemerintahan pusat, sedangkan seorang qadhi (hakim) tingkat daerah berwenang dalam menangani persoalan hukum di daerahnya masing-masing.
Sedangkan untuk menjalankan tugas pemerintahan daerah, amir pusat menunjuk seorang gubernur daerah yang disebut wali. Pada saat itu amir Andalus mempunyai enam wilayah provinsi atau kewalian. Para wali wilayah ini dibantu oleh lembaga ketertiban dan keamanan masyarakat yang disebut:
Shahib Al-Shurthah, badan yang diberi kewenangan dan bertanggungjawab dalam menangani keamanan dan ketertiban sosial (polisi).
Shahib Al-Madzalim, badan yang bertugas menampung berbagai pengaduan dan tindakan kezaliman, seperti penganiayaan dan sebagainya.
Shahib Al-Muhtasib, aparatur negara yang bertugas dalam bidang-bidang pengawasan kesusilaan, perjudian, perdagangan, timbangan dan takaran.
Perubahan Pemerintahan dari Imarah ke Khilafah
Perubahan ini terjadi pada masa Abdurrahman Al-Nashir pada hari jum’at, 16 Januari 929 M. Perubahan ini dalam wacana pemerintahan, memiliki arti yang fundamental dan filosofis. Ad-Dakhil merasa tidak perlu menggunakan gelar “khalifah” untuk dirinya. Karena ia merasa bertanggung jawab dalam menerima kesepakatan umum yakni wacana teologi politik klasik, dalam dunia masyarakat Sunni saat itu; yang menyimpulkan bahwa pada masa yang sama tidak boleh ada dua kepemimpinan spiritual, “khalifah”. Khalifah hanya ada satu, tidak boleh dipecah-pecah karena ia adalah masalah agama sebagai pengganti kedudukan Nabi Saw. Juga dikuatkan oleh kepercayaan masyarakat yang ditekankan oleh para ulama yang menyatakan bahwa mereka yang berhak mengambil gelar khalifah adalah para pemimpin yang menguasai kawasan Hijaz yakni yang menguasai sekaligus memelihara dua tanah suci (haramain), Makkah dan Madinah. Karena kedua kota itu dipandang sebagai pusat kekuasaan Nabi Muhammad Saw dan tertulis secara jelas dalam lembaran Shahifah Piagam Madinah.
Pada masa Abdurrahman Al-Nashir, pandangan seperti ini sudah mulai tergeser karena adanya beberapa alasan ijtihad atau obsesi politik baru yang memungkinkan dia untuk melakukan perubahan sistem pemerintahannya. Di antara alasan-alasan tersebut muncul alasan yang sangat logis, baik berdasarkan kaca mata politik atau bahkan atas alasan yang bersifat pribadi pada masa itu. Obsesi politik itu diantaranya sebagai berikut.
Pada masa dia (912-961 M) adalah masa puncak kejayaan, kekayaan penuh melimpah, banyak diiringi oleh munculnya sejumlah temuan-temuan peradaban. Ia merasakan posisi politiknya sangat kuat dan mapan.
Berdasarkan kenyataan, di Mesir telah bangkit kekhalifahan baru, yaitu Syi’ah Fathimiyah (909 M). Hal ini mengkhawatirkan merembetnya pengaruh Fathimiyah akan pada wilayah Spanyol.
Pemerintahan pusat Sunni di Bagdad pada saat itu sedang mengalami kemunduran. Para khalifah Abbasiyah berada di bawah tekanan sultan-sultan Buwaihi Syi’ah, dan mengatur seluruh kegiatan kekhalifahan berikut kebijakan-kebijakan politik khalifah. Bahkan tampak ada kerja sama antara sultan-sultan Buwaihi dan Fathimiyah di Mesir untuk men-Syi’ahkan seluruh kekhalifahan Baghdad.
Secara pribadi, Al-Nashir merasa sangat yakin terhadap kemampuan dirinya, bahkan merasakan kekuatan dirinya akan jauh melampaui kekuatan yang dimiliki oleh para khalifah Abbasiyah dan Fathimiyah.
Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, ia dengan penuh keyakinan mengikrarkan gelar “khalifah” untuk dirinya pada hari Jum’at 16 Januari tahun 929 M, di hadapan para jamaah shalat Jumat di Masjid Agung Kordova. Ia menobatkan diri dengan sebutan al-Khalifah al-Nashir li Dinillah.
Pembangunan satuan militer
Organisasi militer pada masa Umayyah II di Spanyol, pada umumnya sama seperti yang berkembang di Damaskus. Tapi setelah masuknya seorang panglima perang yang kemudian menjadi perdana menteri khalifah Hisyam II, yakni Muhammad bin Amir yang bergelar Al-Manshur Billah, terjadi perombakan yang sangat signifikan. Kedudukan orang-orang Arab tidak lagi menjadi penting pada kemiliteran, dan digantikan oleh unsur-unsur Saqolibah (etnis campuran Spanyol) dan Barbar (masyarakat etnis asal Afrika Utara).
Angkatan perangnya dipecah menjadi dua; pertama, angkatan darat (al-dyaisy) yang terdiri dari pasukan bersenjata pedang dan tombak yang disebut musyat, pasukan rumat (para pemanah), pasukan (ursan atau kaveleri (penunggang kuda berbaju besi dan berpedang). Kedua, angkatan laut yang dijadikan tulang punggung kekuatan negara karena geografis wilayah Spanyol dikelilingi oleh lautan.



Adapun struktur militer pada masa itu sebagai berikut.
Tiap lima ribu tentara (al-Jaisy) dipimpin oleh seorang amir (panglima) dengan simbol bendera sebagai lambang batalion, royyat.
Dari masing-masing lima ribu tentara, dibagi dalam masing-masing seribu pasukan yang disebut kutaibah, dengan panji-panji bernama ‘alam, masing-masing dipimpin oleh seorang qaid (komandan).
Setiap seribu personil (kutaibah) dibagi lima, masing-masing dua ratus personil yang diberi nama al-qism dengan panji-panji yang bernama al-liwa’, dipimpin oleh seorang naqib sebagai komandannya.
Tiap-tiap dua ratus personil (al-qism) dibagi lima kelompok lagi, dengan masing-masing berjumlah empat puluh orang (al-qism) dengan panji-panji yang diberi nama al-bundan, dan dipimpin oleh seorang arif sebagai komandannya.
Dari tiap empat puluh orang personil yang dipimpin seorang arif, dibagi lagi ke dalam lima kelompok dengan masing-masing berjumlah delapan orang dengan panji-panji bernama al-ukdah  dibawah pimpinan seorang nazir sebagai komandannya.
Demikian gambaran umum kehidupan dan kebijakan politik selama masa Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol. Kebijakan-kebijakan politik yang diambil sedikit banyaknya berpengaruh pada kehidupan sosial, ekonomi dan peradaban pada masa Dinasti Bani Umayyah II ini.


Amir dan Khalifah Dinasti Bani Umayyah II
Selama 3 Abad pemerintahan Umayyah II, terdapat banyak amir dan khalifah yang diberikan tanggung jawab untuk memimpin Andalusia, di antaranya:
Abdurrahman Ad-Dakhil atau Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik (138-172 H/ 756-788 M).
Banyak prestasi yang diukir oleh Ad-Dakhil selama masa jabatannya sekitar 32 tahun, seperti membangun armada darat dan laut yang kuat, pertumbuhan ekonomi dan peradaban yang pesat,  serta merenovasi dan memperluas Mesjid Cordova. Kerja keras Ad-Dakhil ini mengantarkan kemewahan Cordova setara dengan Baghdad dan Konstantinopel sehingga digelari dengan Penganti Dunia. Ad-Dakhil meninggal tahun 172 H dalam usia 61 tahun.
Hisyam bin Abdurrahman (172-180 H/ 788-792 M)
Ia merupakan putra kedua Abdurrahman yang memerintah di usia 23 tahun, sedangkan kakak dan adiknya menjadi gubernur di Toledo dan Velencia. Masa pemerintahan Hisyam banyak diwarnai oleh pemberontakan saudara kandungnya sendiri, namun berhasil diredam dan berakhir dengan kepergian Sulaiman ke daerah Maroko. Selain itu, juga ada pemberontakan dari golongan Yamani dan berhasil ditumpas dengan bantuan Musa bin Fartun seorang tokoh Mudhari.
Ternyata tidak hanya pemberontakan yang menghiasi liku kekuasaan Hisyam, ia juga berhasil melahirkan keamanan dan ketertiban yang membuat para sejarawan menyandingkannya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia juga menyelesaikan perluasan Mesjid Cordova yang telah dimulai oleh Amir Ad-Dakhil sebelumnya. Namun, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa Arab menjadi peninggalan Hisyam yang paling dikenang, hingga ia wafat dalam usia 31 tahun.

Hakam I bin Hisyam (180-206 H/ 796-822 M)
Hakam memerintah selama 27 tahun sampai wafat di usia 50 tahun. Hakam terkenal dengan keberhasilannya menerapkan sendi-sendi pemerintahan yang keras di Andalusia. Hal ini nampak dari berbagai pertempuran dan caranya dalam menyelesaikan konflik. Misalnya penyaliban 72 ulama Cordova yang merasa tidak puas dengan pemerintahan Hakam dan merencanakan pembatalan baiat terhadap kepemimpinan Hakam.
Abdurrahman II (206-238 H/ 822-852 M)
Ia memerintah semenjak usia 31 tahun dan memerintah selama 31 tahun hingga wafat di usia 62 tahun. Abdurrahman II dikenal sebagai khalifah yang disayangi rakyat, ia berusaha memperbaiki berbagai kekerasan yang telah dilakukan ayahnya dengan menerapkan berbagai kebijakan, yaitu mengadakan peperangan ke luar daerah, menerapkan pengamanan di dalam kota, melakukan pembangunan besar-besaran, pengembangan ilmu pengetahuan, membuat saluran irigasi, kesenian, dan memperbaiki jalan.
Muhammad I (238-273 H/ 852-886 M)
Merupakan amir yang memerintah selama 34 tahun sampai wafat di usia 65 tahun. Selama masa kepemimpinannya, dinasti Umayyah II bisa bilang berada dalam kondisi stabil, tidak banyak pergolakan yang terjadi karena perhatian dunia lebih terpusat pada pergolakan politik Abbasiyah yang sedang memanas.
Abdullah bin Muhammad (275-300 H/ 888-912 M)
Memerintah selama 25 tahun hingga wafat di usia 42 tahun. Sejarawan menyebut Abdullah sebagai lukisan keberanian dan kedermawanan, dan banyak sejarawan yang menyebut bahwa Abdullah adalah pemimpin Andalusia yang paling baik ilmu dan agama.



Abdurrahman III (300-350 H/ 912-961 M)
Inilah pemimpin yang pertama memproklamirkan diri dengan gelar Khalifah. Ia digelari sebagai pemimpin yang cakap, berkepribadian kuat, pertimbangan yang tepat, keteguhan hati, dan keberanian.  Kiranya sebutan ini pantas disandangnya karena perjuangan kerasnya dalam mengembalikan kejayaan Andalusia yang telah terpuruk akibat konflik berkepanjangan. Bukan hanya mengembalikan tapi ia mampu mengembangkan dan memajukan peradaban Andalusia. Misalnya membangun rumah sakit, tempat persinggahan untuk kaum dhuafa, membangun perpustakaan terbesar yang tersebar di seluruh wilayah Andalusia, perdagangan, industri, kesenian, ilmu pengetahuan, dan pembangunan istana megah Az-Zahra.
Hakam II (350-366 H/ 961-976 M)
Ia digelari sebagai pemimpin zaman keemasan kesusatraan Arab, karena di zaman inilah perpusatakaan Cordova diselesaikan yang menampung sekitar 400.000 ekslamper buku yang berasal dari berbagai daerah. Selain perhatian yang dalam dibidang sastra, ia juga berusaha menjalin hubungan baik dengan kerajaan Leon dan Navarre.
Hisyam II (366-399 H/ 976-1009 M)
Merupakan khalifah termuda di antara pemimpin dinasti Umayyah lainnya, ia diangkat saat berusia 10 tahun. Selama masa jabatannya, tugas yang dilakukannya hanya sebatas khutbah dan membubuhkan stempel, sedangkan pemerintahan dijalankan oleh Wazir Muhammad bin Amir yang menggelari dirinya dengan Al-Mulk Al-Manshur. Namun, wazir ini juga menorehkan prestasi yang baik, seperti menambah koleksi perpustakaan karena ia juga seorang maniak ilmu pengetahuan, mengembangkan sistem pertanian, perdagangan, dan perusahaan.
Muhammad II Al Mahdi (399-400 H/ 1009-1010 M)
Setelah wazir ibn Amir wafat, pemerintahan sempat digantikan oleh anak-anaknya walaupun saat itu Khalifah Hisyam II yang ‘berkuasa’. Namun ia segera diberhentikan oleh pemuka Umayyah II dan menunjuk putranya Muhammad Al-Mahdi sebagai khalifah. Tetapi tidak ada kemajuan yang terjadi, ia malah menekan kalangan Barbar yang terkenal bengis hingga membuat mereka melakukan penyerangan. Saat ini nampaklah bibit-bibit kehancuran Dinasti Umayyah II di Andalusia yang juga diperparah dengan serangan bangsa Kristen.
Sulaiman Al-Musta’in (400-407 H/ 1010-1017 M)
Di saat inilah perebutan Cordoba terjadi, bukan perebutan antara Islam dengan Kristen, tetapi sebagai sesama Muslim, bahkan sesama keturunan Umayyah II. Kedua kubu sama-sama meminta bantuan dari pihak Kristen yang memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Cordova pun mulai melihat jalan kelam Islam yang membentang luas dihadapannya.
Al-Murtadha (407-413 H/ 1017-1023 M)
Disebut juga sebagai Abdurrrahman IV, ia adalah khalifah Umayyah yang ditunjuk oleh Khairan Al-Amiri seorang wazir di Almeria. Al-Murtadha termasuk khalifah yang sebentar memimpin Umayyah II, ia dikatakan tewas dalam sebuah peperangan melawan Mulk Al-Mutawakkil.
Al-Mustakfi, Al-Mu’tamid, dan Umayyah bin Abdurrahman (413-422 H/ 1023-1031 M)
Mati enggan hidup segan, itulah istilah yang sesuai untuk menggambarkan kondisi Dinasti Umayyah II saat ini, seringnya pergantian khalifah, gempuran dari pihak kristen, juga dari sesama muslim menyebabkan Umayyah bin Abdurrahman dianggap sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah II di Andalusia.
Kemunduran Dinasti Bani Umayyah II
Sejak tahun 976 M sudah terasa kemunduran dalam menerapkan sistem kekhalifahan, dan puncak kebangkrutannya pada tahun 1031 M. Sekalipun memang cukup misterius dalam meneliti penyebab kemudurannya, namun menurut Ajid Thohir, paling tidak di antara gejala umum penyebab utamanya adalah sebagai berikut:
Adanya keretakan antara kelas atas dan kelas bawah dimana tidak adanya komunikasi politik yang intensif. Antara pegawai istana, ulama dan penguasa ekonomi tidak menunjukkan hubungan yang erat dengan masyarakat malah lebih mengutamakan dan selalu bergantung pada pemerintahan. Kelas bawah petani, buruh di desa-desa kurang memperoleh hak-hak sosial yang memadai.
Karena secara alamiyah wilayah Spanyol bergunung-gunung, dan secara demografis sudah terbentuk berbagai komunitas politik kesukuan, upaya menyatukan wilayah memang menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Kedua hal inilah yang mudah dimanfaatkan untuk memunculkan gerakan tokoh-tokoh lokal, raja-raja kecil; sebuah alasan politik untuk mensejahterakan rakyat-rakyat di daerahnya masing-masing.

Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil (al-Mulk ath-Thawaif)
Munculnya Al-Mulk Ath-Thawaif (dinasti-dinasti kecil), secara politis telah menjadi indikasi akan kemunduran Islam di Spanyol, karena dengan terpecahnya kekuasaan khalifah menjadi dinasti-dinasti kecil, kekuatan pun terpecah-pecah dan lemah. Keadaan ini membuka peluang bagi penguasa provinsi pusat untuk mempertahankan eksistensinya. Masing-masing dinasti menggerakkan segala daya upaya termasuk meminta bantuan kepada orang-orang Kristen.
Melemahnya kekuatan Islam secara politis telah dibaca oleh orang-orang Kristen dan tak disia-siakan oleh pihak musuh untuk menyerang imperium tersebut. Pada tahun 1080 M, Al-Fonso dengan tiga kerajaan Kristen (Galicia, Leon dan Castile) berhasil menguasai Toledo dan Bani Dzu An-Nur. Demikian juga, kerajaan Kristen Aragon berhasil merebut Huesca (1096 M), Saragosa (1118 M), Tyortosa (1148 M), dan Kenida (1149 M).
Dijelaskan oleh Bosworth, pada tahun 1212 M, penaklukan Las Navas De Tolosa oleh koalisi raja-raja Kristen mengakibatkan Dinasti Al-Muwahiddin yang selama beberapa waktu telah memulihkan keamanan negara, stabilitas politik, dan lain-lain harus menarik diri dari Spanyol. Sebagian besar kota penting yang dikuasai Islam satu persatu jatuh ke pihak Kristen. Kordova jatuh tahun 1236 M. Dan Seville pada tahun 1248 M.
Pada pertengahan abad ke-13, satu-satunya kota penting yang masih dikuasai Islam adalah Granada di bawah pemerintahan Bani Ahmar. Awalnya, orang-orang Kristen membiarkan Dinasti Ahmar di Granada tetap eksis dengan persetujuan bahwa orang muslim harus membayar pajak kepada penguasa Kristen. Akan tetapi, setelah terjadi perselisihan antara mereka dan telah bersatunya orang-orang Kristen, proyek kekuasaan Dinasti Ahmar menjadi gelap. Di pihak lain terjadi konflik internal di tubuh Ahmar, yakni perebutan kekuasaan yang berakhir perang saudara dan dinasti menjadi terpecah. Sejak saat itu, kekuatan Islam semakin melemah dan semakin mempercepat tamatnya riwayat umat Islam di Spanyol. Pada tahun 1492 M, satu-satunya wilayah Islam di Spanyol akhirnya jatuh ke tangan orang Kristen.
Setelah penaklukan Granada, orang-orang Islam mengalami nasib yang sangat menyedihkan. Pada tahun 1556, penguasa Kristen melarang pakaian Arab dan Islam di seluruh wilayah Spanyol, bahkan pada tahun 1566, bahasa Arab tidak boleh digunakan di wilayah ini.

Malang, Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar